Rabu 30 Aug 2023 04:31 WIB

Selamat Jalan Pak Guru Harold Crouch…

Guru besar dan pengamat militer Indonesia Harold Crouch wafat

Sejumlah personel TNI mengikuti apel gelar pasukan. (ilustrasu) Prayogi/Republika.
Foto:

Oleh : DR Najib Azka, Akademisi UGM dan Wakil Sekjen PB NU

Aku masih ingat, sebelum buku itu diterbitkan, kami sempat mendiskusikan draf buku yang berasal dari skripsi itu di kantor LKiS bersama dua orang empu: Herbert Feith dan Harold Crouch. Setelah mendapatkan endorsement dari dua guru besar ilmu sosial politik terkemuka dari Australia itu akhirnya aku cukup ‘pede’ untuk menerbitkan buku yang ditulis dengan cukup tergopoh-gopoh tersebut. 

Relasi personal dan akademik kami ternyata ditakdirkan berumur panjang. Aku mendapat beasiswa master untuk berkuliah di ANU. Di bawah bimbingan akademiknya yang kaya dan menyenangkan, aku menulis sebuah tesis master berjudul “The role of security forces in the commuinal conflict: the case of Ambon, Indonesia”. 

Pada saat aku mengawali studi master di ANU pada awal 2001, Harold sedang menjadi direktur International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga think tank berbasis di Jakarta.  Kami sempat berjumpa di kantor ICG di Jakarta, juga di apartemennya di Pacenongan, sebelum aku terbang ke Canberra. Belakangan, jika tidak salah pada pengujung 2001, beliau kembali menetap di Canberra dan kami acap berjumpa untuk berdiskusi dan bertukar pemikiran. 

Bersama sejumlah mahasiswa pascasarjana yang dibimbingnya, aku sempat diundang berkunjung ke kediamannya. Sambil menyantap hidangan kami berdiskusi seru dan asyik. Ikut bergabung juga istrinya, Khasnor Johan, sejarawan dan muslimah asal Malaysia. Seingatku, bergabung juga pada waktu itu Kikue Hamayotsu, kini associate professor perbandingan politik di Nothern Illinois University, dan Jun Honna, sekarang profesor studi Asia Tenggara di Ritsumeikan University, Jepang. 

Tentu, aku berutang banyak kepada pengetahuannya yang luas dan dalam mengenai militer Indonesia dan konflik komunal agama yang terjadi kepulauan Maluku itu. Pada saat itu, selain diriku juga ada Marcus Mietzner, mahasiswa doctoral yang tengah menulis mengenai militer dan Islam dalam politik di Indonesia. Belakangan, pada 2008 disertasi Mietzner diterbitkan sebagai buku oleh KITLV dan ISEAS berjudul Military Politics, Islam and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation.  

Seperti ditulis oleh Mietzner dalam obituari ringkasnya di FB, “Despite being such a big name, Harold was humble, down to earth, self-depreciating and uninterested in power.” Mietzner tajam menggambarkan karakter yang jarang dan kualitas tinggi darinya: rendah hati, membumi, jarang membanggakan diri, serta tidak berambisi kuasa.

Saya telah membuktikannya sejak mahasiswa S1 yang menulis skripsi: dengan dukungannyalah skripsiku bisa diterbitkan menjadi buku. Selama menulis tesis master, dia juga acap memperlakukanku sebagai ‘mitra diskusi’ yang hangat dan bersahabat. 

Baca di halaman berikutnya...

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement