Makkah pun sebenarnya bukan kota yang indah. Beda dengan Madinah yang hijau atau Beirut yang subur. Kota ini gersang. Letaknya di pegunungan batu di kawasan pedalaman semenanjung Arabia. Dari semenjak dahulu orang Arab menyebutnya sebagai sebuah kota padang pasir yang ada di pelosok yang menjadi tempat persinggahan para pedagang. Kota ini di masa lalu berada dalam jalur perdagangan antara Yaman-Makkah-Madinah-Damsyiq (Damaskus).
Kesan kota gersang dan berada di perbukitan masih terasa setidaknya hingga awal tahun 2000-an saat belum banyak terowongan di bangun. Masjidil Haram letaknya di antara ceruk perbukitan batu itu. Mendiang Presiden Sukarno dulu menyebut Makkah layaknya kota di dalam mangkok. Kab'ah ada di tengah mangkok itu sedangkan dinding mangkoknya adalah perbukitan batu yang kini sudah berubah dengan aneka bangunan hotel. Kondisi dalam 'mangkok batu' inilah yang membuat Makkah rentan terhadap banjir.
Nah, andai pada tahun ini berkesempatan lagi mendatangi Makkah, maka pasti akan melihat kota ini sebagai tempat megah yang terus-menerus berbenah. Jalanan bebas hambatan, terowongan, dan gedung tinggi akan segera menyambut begitu tiba di perbatasan kota. Sebelum masuk kota dari jarak sekitar 10 kilometer akan terlihat menara Masjidil Haram. Di malam hari menara ini akan tampak bersinar kebiruan dan akan berkedip-kedip ketika adzan berkumandang.
Mengingat kenangan itu semua, maka ketika laju mobil berubah sedikit tersendat saat mulai mendaki ruas jalan Nagrek, kebosan serta keletihan menjadi sedikit berkurang. Hujan rintik yang mengguyur malam itu kembali mengenangkan 'hujan es' ketika dulu hendak masuk ke Makkah. Sama dengan dulu ketika kami membuka jendela mobil saat hujan es datang, maka kemarin pun jendela mobil pun kami buka lebar-lebar. Namun bedanya, bila dulu kami berteriak kegirangan menyambut 'hujan es', kini ketika di perbukitan Garut kami berteriak kedinginan atas hujan yang turun.
Akhirnya, setelah hujan reda serta kemudian kembali menatap muka bulan yang masih seperti sabit itu, maka mulut ini pun tanpa sadar mengucap: ''Bulan salamkan kami pada Ka'bah dan perbukitan Makkah. Aku merindukanmu...!''