REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya membolehkan peserta pemilihan umum (pemilu) berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan, seperti sekolah dan kampus, sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Beragam reaksi kemudian muncul dari para orang tua wali murid sekolah menengah atas (SMA).
Adapun SMA merupakan jenjang pendidikan di mana pada kelas tertentu sudah memiliki hak suara, sebab murid sudah menginjak usia 17 tahun dan memiliki KTP. Latifah, orang tua dari Syifa Fatimatuzahra yang duduk di bangku kelas 12 SMAN 4 Kota Bekasi menilai, kampanye di institusi pendidikan baik-baik saja jika tujuannya mengajarkan murid untuk mengetahui dunia perpolitikan di Indonesia.
"SMA itu sudah ada yang 17 tahun, sudah ada hak suara, menurut saya, boleh-boleh saja ada kampanye di sekolah yang sifatnya mendidik. Jadi, mereka tahu secara nyata, gimana si kampanye yang sesungguhnya itu," kata Latifah kepada Republika.co.id di Kota Bekasi pada Senin (21/8/2023).
Latifah mengatakan, kampanye jangan dilihat negatifnya saja, namun juga kebermanfaatan bagi generasi mendatang nantinya. Sebab, pelajaran di sekolah saja tidak cukup, sehingga perlu adanya tindakan dan praktek nyata bagaimana para murid melihat fenomena kampanye yang ada di depan mata.
"Nanti, biar mereka (para murid) mengerti, oh ini ada pemilu, aturan mainnya begini, oh begini kampanye ya, biar mereka juga tak terkecoh. Meski kita milihnya nanti berbeda, kan tetap ditekankan oleh guru-guru agar pemilu itu luber jurdil," ujar Latifah.
"Kita ini kan negara demokrasi, karena bisa memilih, kampanye kan ngga selamanya negatif, dan itu untuk membangun para generasi masa depan. Saya juga nantinya akan membebaskan anak saya dalam memilih," ujarnya menambahkan.
Kendati begitu, kampanye di sekolah memang hal yang baru baginya sebagai orang tua murid. Oleh karenanya, Latifah ingin agar prosesnya harus tetap diawasi oleh guru-guru di sekolah dan pihak berwenang pada Pemilu 2024, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Tapi juga harus diawasi, kalau kampanyenya merujuk pada fitnah dan berujung pada keributan kan jadi nggak baik," ujar Latifah.
MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) selama tidak menggunakan atribut kampanye. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah.
Sedangkan dalam bagian Penjelasan beleid itu, terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut. “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan," demikian bunyi bagian Penjelasan itu.
MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa "tempat ibadah".
"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," demikian bunyi putusan MK itu.
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan, ketentuan pengecualian itu dimasukkan ke dalam norma pokok karena sudah diatur seperti itu sejak UU Pemilu sebelum-sebelumnya.