Dan setelah proklamasi, pada masa awal di Jakarta ada pembagian antara mana wilayah RI dan mana yang masih wilayah Belanda. Pembagian wilayah ini membingungkan penduduk ibu kota. Kata Ridwan, ini karena pembagian wilayah kala itu tidak sejelas. Wilayah dibagi seenaknya saja layaknya 'belah duren'.
"Saat itu warga Jakarta menyebut nama wilayah Republik dengan sebutan Kiblik). Wilayah lain adalah disebut warga ibu kota sebagai tanah Belanda. Misalnya saya sekolah rakyat (SD) di Jalan Taman Sari I itu berada di Jakarta Pusat. Eh, ternyata sekolah saya itu adalah wilayah Belanda. Baru diseberangnya, yakni di Jalan Taman Sari 2 itu wilayah 'Kiblik','' katanya lagi.
Keadaan ini setidaknya membingungkan ibu-ibu di Jakarta yang kala itu banyak yang bekerja lintas wilayah.''Misalnya di dekat rumah saya banyak kaum ibu yang bekerja di pabrik kemeja . Mereknya masih saya ingat 'Shampo'. Nah, untuk sampai ditempat kerja mereka harus melintasi wilayah kekuasaan berbeda. Nah ketika melintas itulah banyak terjadi razia oleh tentara Belanda.''
''Yang kasihan kalau terkena razia karena kedapatan memakai lencana atau Pin berlambang bendera merah putih. Biasanya pasukan Belanda menyuruh yang terkena razia menelan PIN itu. Padahal itu terbuat dari besi. Razia seperti ini acapkali terjadi di seputaran bilangan Gambir,'' tutur Ridwan Saidi.