REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Gerakan hijrah yang marak beberapa tahun terakhir merupakan proses transformasi spiritual dan representasi semangat beragama dalam bentuk perubahan fisik, spiritual, dan sosial. Dalam proses transformasi ini, seseorang dapat bersikap intoleransi jika merasa paling superior dalam beragama.
Dalam menjawab pertanyaan bagaimana intoleransi beragama terbentuk melalui mekanisme orientasi kolektif pada kelompok agama, Roosalina Wulandari, mahasiswa Program Studi Psikologi Program Doktor Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI) melakukan studi berjudul “Religious Identity Transformation: Explaining Religious Intolerance as Uncertainty Reduction Motivation Through Collective Orientation”.
Menurut Roosalina, perjalanan hijrah banyak dilihat sebagai upaya memperkuat spiritualitas beragama. Kuatnya budaya kolektif di Indonesia menjadikan hijrah, yang awalnya merupakan proses transformasi spiritual personal, dijalani secara berkelompok. Dalam hal ini, dukungan kelompok dirasakan penting dalam proses berbagi nilai dan validitas identitas baru sebagai pelaku hijrah.
"Kendati begitu, gairah spiritual sering kali dinodai oleh sebagian orang yang merasa paling benar, dan pada akhirnya memunculkan sikap intoleran," kata Roosalina dalam rilis pers Humas UI pada Sabtu (12/8/2023).
Menurut dia, intoleransi ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berbeda agama, namun juga kepada sesama pemeluk Islam yang berbeda kelompok atau aliran. Hal ini tentunya menimbulkan kerawanan bagi keberagaman umat beragama di Indonesia.
Dalam studinya, Roosalina menemukan, ada dua tipe pelaku hijrah, yaitu individualis dan kolektivis. Keduanya didorong oleh kehilangan makna hidup akibat krisis yang dialami, namun mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam mencapai kembali makna hidup.
Pelaku hijrah tipe individualis...