REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk menyusun kebijakan perdagangan karbon. Pemerintah berdalih tindakan ini sebagai langkah nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah dampak krisis iklim.
Deputi Internal Walhi, M Islah menegaskan perdagangan karbon merupakan jalan sesat dalam mengatasi krisis iklim. Islah merasa kebijakan itu hanya bermanfaat besar bagi kegiatan ekstraktivisme.
"Perdagangan karbon hanya menjadi alat untuk mempertahankan ekstraktivisme dan finansialisasi alam, sembari mengenalkan praktik greenwashing," kata Islah.
Islah menyatakan Walhi selalu menolak ekstraktivisme. Sebab ekstraktivisme menurut Walhu telah terbukti menyebabkan krisis iklim dan krisis multidimensi di Indonesia.
"Banyak masyarakat yang harus menghadapi penggusuran dan hidup dalam ancaman konflik agraria," ujar Islah.
Walhi juga meyakini finansialisasi alam dan greenwashing hanya akan memperburuk situasi yang ada. Sehingga Walhi mengingatkan perdagangan karbon bukanlah jalan yang tepat untuk mengatasi krisis.
Islah menerangkan pelepasan emisi karbon pada faktanya bukanlah sekadar melepas gas rumah kaca ke udara, namun terkait pula dengan perusakan sistematis sosial-ekologis.
"Emisi gas rumah kaca dan emisi karbon sama-sama bermasalah, tetapi proses pelepasan emisi karbon acapkali menimbulkan turunnya kemampuan satu wilayah menghadapi krisis iklim," ujar Islah.
Islah menekankan penurunan emisi gas rumah kaca adalah keharusan, tetapi bukan jalan satu-satunya. Islah mendorong pemulihan kemampuan lingkungan dan sosial dalam menghadapi krisis iklim juga merupakan kemutlakan.
"Dua hal ini emisi gas rumah kaca serta perusakan lingkungan dan sosial tak bisa dipisahkan, layaknya dua sisi mata uang," ujar Islah.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bakal segera meluncurkan skema perdagangan karbon pada tahun ini. Pemerintah juga telah menggandeng Inggris sebagai mitra kerja sama dalam skema perdagangan karbon.
Luhut menegaskan, nantinya hanya entitas yang beroperasi di Indonesia yang diizinkan untuk berdagang di bursa karbon dan skemanya akan mirip dengan perdagangan saham. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengawasi kegiatan di bursa karbon.
Diketahui, Indonesia memiliki potensi besar kapasitas penyimpanan CO2. Berdasarkan beberapa studi, kapasitasnya mencapai antara 10 gigaton sampai dengan 400 gigaton di reservoir minyak dan gas dan aquifer salin. Penerapan Carbon Capture Storage (CCS) bisa menjadi strategi jangka pendek yang penting dalam mengurangi emisi sektor minyak dan gas.