REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Pemerintah Indonesia kembali menghadiri pertemuan Co-operation Forum (CF) ke-14 yang digelar di Paradox Singapore Merchant Court at Clarke Quay, Singapura sejak Senin-Selasa (31/1/2023 - 1/8/2023).
Pada pertemuan tersebut Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Dr. Hartanto bertindak sebagai Head of Delegation (HoD) mewakili Direktur Jenderal Perhubungan Laut memimpin anggota delegasi yang terdiri dari Direktur Kenavigasian, perwakilan dari Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat Kenavigasian, Atase Perhubungan KBRI Singapura, Atase Perhubungan KBRI Kuala Lumpur serta Kemenko Maritim dan Investasi.
Hartanto menegaskan, komitmen Indonesia untuk bekerja sama dengan negara pantai, negara pengguna, serta pemangku kepentingan terkait lainnya yang berada di bawah kerangka Cooperative Mechanism dalam meningkatkan kolaborasi guna mencapai tujuan bersama.
“Saya percaya kita dapat menyelesaikan semua isu yang menjadi kepentingan bersama di Selat Malaka dan Selat Singapura, termasuk isu-isu terbaru, dengan memperkuat koordinasi dan kerjasama, tidak hanya melalui Forum ini, namun juga dengan mengimplementasikan proyek-proyek yang telah kita mulai,” ujar Hartanto dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Selasa (1/8/2023).
Pada Pertemuan tersebut, Hartanto juga menyampaikan paparan terkait Maritime Autonomous Surface Ships dengan mengangkat isu Challenge and Opportunities Menghadapi Maritime Autonomous Era. Selain itu, Delegasi Indonesia juga mencermati secara khusus isu dekarbonisasi, Ballast Water Management dan Oil Spill Management.
Hartanto mengatakan, bahwa kondisi Indonesia sebagai salah satu penghasil tenaga pelaut terbesar di dunia memiliki tantangan tersendiri apabila dunia perkapalan bergeser menjadi Maritime Autonomous, di mana teknologi ini akan mengurangi jumlah awak di atas kapal karena kendali kapal sebagian besar akan dilakukan secara remote dari luar kapal atau di darat.
“Seperti yang telah kami catat, pengembangan Maritime Autonomous Surface Vessels (MASS) dan dekarbonisasi perkapalan telah menjadi isu yang muncul di sektor maritim global yang perlu kita fokuskan," katanya.
Selain itu, Organisasi Maritim Internasional sendiri juga telah menargetkan aturan terkait Maritime Autonomous Surface Ships dapat diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2028. Namun demikian, dirinya yakin bahwa upaya-upaya yang telah kita lakukan melalui Cooperative Mechanism dapat memungkinkan kita untuk terus bekerja dan beradaptasi menghadapi tantangan yang ada untuk mewujudkan industri pelayaran yang maju.
Adapun pelaksanaan Cooperation-Forum ke-14 ini dilaksanakan di Paradox Singapore Merchant Court at Clarke Quay, Singapura dan akan diikuti oleh Pertemuan Tripartite Technical Expert Group (TTEG) ke-46 dan ditutup dengan Pertemuan Project Coordination Committee (PCC) ke-14.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Kenavigasian, Capt. Budi Mantoro menyatakan, pertemuan CF ke-14 ini membahas beberapa hal, antara lain Initiatives to Enhance Safety of Navigation in SOMS, Technology to Enhance Navigational Safety, Maritime Autonomous Surface Ships, Maritime Decarbonisation, Ballast Water Management, Oil Spill Management, Contribution of MSC to the Straits of Malacca and Singapore – 50 years of Cooperation with the littoral States – by Malacca Strait Council, Joint Hydrographic Survey of the Straits of the Straits of Malacca and Singapore – Project Overview – by Malaysia.
"Indonesia juga akan menyampaikan Updates on the 27th and 28th Aids to Navigation Fund Committee Meetings serta Updates on ongoing Straits Projects under the Project Coordination Committee," ujar Budi.
Pertemuan Co-operation Forum akan dilanjutkan dengan 2 Pertemuan lainnya, yaitu Tripartite Technical Expert Working Group (TTEG) dan Project Coordination Committee (PCC) yang dihadiri oleh pejabat setingkat eselon II dari masing-masing Negara Pantai, untuk membahas usulan dan implementasi terhadap proyek-proyek yang telah disampaikan dan disetujui pada pertemuan Co-operation Forum.
Adapun Cooperative Mechanism dibentuk oleh tiga negara pantai (Indonesia, Malaysia, Singapura) dengan dukungan dari International Maritime Organization (IMO) berdasarkan kesepakatan Ministerial Meeting di Batam tahun 2005, Jakarta Statement ‘2005 (Senior Officer Meeting), Kuala Lumpur Statement ‘2006, serta Singapore Statement ‘2007, untuk mengaplikasikan article 43 UNCLOS 1982, yang mendorong peran serta Negara Pengguna dan Pemangku Kepentingan lainnya dalam peningkatan keselamatan dan perlindungan lingkungan di Selat Malaka dan Selat Singapura.
Cooperative Mechanism memiliki 3 komponen, yaitu Cooperation Forum (CF) adalah Komponen Coperative Mechanism yang bertujuan untuk meningkatkan dialog dan diskusi mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan di Selat Malaka & Singapura. Serta untuk mengidentifikasi dan menyusun prioritas proyek dalam rangka peningkatan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan di Selat Malaka & Singapura.
Selanjutnya Project Coordination Committee (PCC) yaitu Komponen Coperative Mechanism yang bertujuan untuk mengkoordinasikan implementasi berbagai kegiatan proyek yang dilaksanakan dalam kerangka Coperative Mechanism.
Terakhir ada Aids to Navigation Fund (ANF) yakni Komponen Cooperative Mechanism yang bertujuan untuk menghimpun kontribusi dari user states dan stakeholder dalam mengelola dan memelihara Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di selat Malaka & Singapura.
Pertemuan-pertemuan ini dihadiri oleh delegasi-delegasi yang berasal dari tiga Negara Pantai, Indonesia, Malaysia dan Singapura, negara-negara pengguna, Intergovernmental Organization serta Non-Governmental Organization.