Ratna memaparkan, di banyak kasus TPPO, pelaku kerap memanfaatkan teknologi, mulai dari proses rekrutmen, periklanan, bahkan manajemen keuangan dari bisnis pelaku pun dilakukan secara online. Saat ini, pelaku TPPO tidak hanya menyasar orang dengan tingkat pendidikan rendah, namun juga orang yang berpendidikan tinggi.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat dari tahun 2020-2022 terdapat 1.418 kasus TPPO dengan korban sebanyak 1.581 orang. TPPO juga tidak hanya menimbulkan korban manusia secara fisik.
TPPO juga merugikan secara ekonomi. Sebagaimana dikutip dari data Global Financial Integrity tahun 2017, rata-rata kerugian sekitar Rp1,6 triliun dihasilkan dari kegiatan-kegiatan transnasional, termasuk tindak pidana perdagangan orang.