Jumat 07 Jul 2023 16:49 WIB

Sinergi Pemerintah dan Pelaku Industri Antisipasi Dampak Pemanasan Global

Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional.

Sinergi pemerintah dan pelaku industri antisipasi dampak pemanasan global.
Foto: Istimewa
Sinergi pemerintah dan pelaku industri antisipasi dampak pemanasan global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suhu global dan perubahan iklim yang terjadi akibat meningkatnya emisi karbon, menimbulkan bencana di seluruh belahan bumi ini. Untuk itu, berbagai kebijakan global guna mengontrol emisi karbon, didorong untuk segera diimplementasikan di seluruh dunia. 

Di Indonesia, tahun 2023 ini pemerintah telah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29 persen menjadi 31,8 persen untuk menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya-guna. 

Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Nicodemus Daud, menerangkan tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar Negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2). Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi. 

“Pemerintah tentunya sudah punya tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi hal ini. Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7 persen," ujar dia.

Nicodemus menjelaskan ada 3 dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Yang pertama adanya peningkatan atau penurunan curah hujan. Kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrem. 

Terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di Tanah Air. 

“Solusi atas tantangan tadi adalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Tantangan dan solusi ini kemudian harus diimplementasikan di lapangan. Caranya dengan menerapkan pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan pada semua paket-paket pekerjaan PUPR,” kata Nicodemus menjelaskan. 

Upaya Kementerian PUPR ini disambut baik Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi. Ia menyebut, masalah perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekadar masalah pemerintah. Semua elemen masyarakat harus terlibat menjaga keberlangsungan lingkungan, demi generasi yang akan datang. 

“Jadi ini bukan tanggung jawab pemerintah saja. Semuanya harus terlibat. Karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa ancaman pemanasan global dan perubahan iklim itu nyata dan sudah bisa dirasakan sekali belakangan ini," ujar Stephanus.

"Untuk itu kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bergabung bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan kita,” kata dia menambahkan. 

Stephanus mengatakan kolaborasi antara pelaku industri dan saling berbagi informasi adalah penting untuk memetakan emisi yang dilepaskan dalam ekosistem rantai nilai. Tujuannya agar dapat merumuskan langkah-langkah berbasis sains untuk mengambil tindakan dekarbonisasi. 

Hal yang sama dilakukan Tatalogam Group bersama Pusat Industri Hijau (PIH), Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Kementerian Perindustrian. “Saat ini regulasi pemberlakuan Sertifikasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk Baja Lapis Lembaran sedang dalam proses penetapan oleh Menteri Perindustrian. PT Tata Metal Lestari berperan aktif dalam perumusan SIH," ucapnya.

Ada 4 pilar yang difokuskan dalam menyusun rumusan SIH. Pertama, mengenai pembatasan penggunaan energinya. Kedua, pelepasan karbon atau Gas Rumah Kaca (GRK). Ketiga, manajemen limbahnya, dan terakhir mengenai batasan OEE sebagai indikator peningkatan daya saing industri. 

"Empat poin ini yang perlu diukur dan dimonitor secara berkelanjutan supaya kita bisa mengurangi efek dari perubahan iklim,” ujar Herman Supriadi, Kepala Pusat Industri Hijau (PIH), menambahkan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement