Kamis 06 Jul 2023 16:29 WIB

Antraks karena Makan Bangkai? Ini Kesaksian Warga

Warga beli daging dari sapi yang mati tak wajar untuk bantu pemilik ternak

Rep: wihdan hidayat/idealisa masyrafina/zamzami/ Red: Teguh Firmansyah
Sugeng menyiapkan cairan formalin untuk mensterilisasi lingkungan kandang ternak di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Warga rutin melakukan sterilisasi kandang ternak usai kasus kematian warga karena mengonsumsi daging sapi  yang mati dan terkena antraks. Menurut Balai Besar Veterinari (BBVet) Wates ada 12 ekor hewan ternak di Dusun Jati yang terkena antraks, enam ekor kambing dan enam ekor sapi. Dari kejadian ini sebanyak 87 warga positif terjangkit antraks dan satu diantaranya meninggal dunia.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Sugeng menyiapkan cairan formalin untuk mensterilisasi lingkungan kandang ternak di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Warga rutin melakukan sterilisasi kandang ternak usai kasus kematian warga karena mengonsumsi daging sapi yang mati dan terkena antraks. Menurut Balai Besar Veterinari (BBVet) Wates ada 12 ekor hewan ternak di Dusun Jati yang terkena antraks, enam ekor kambing dan enam ekor sapi. Dari kejadian ini sebanyak 87 warga positif terjangkit antraks dan satu diantaranya meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, Dukuh Jati, di Semanu, Gunungkidul jadi sorotan belakangan karena penyakit antraks yang mewabah di sana. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta menyatakan sebanyak 87 terjangkit penyakit yang ditularkan ternak sapi itu. Dari jumlah itu, satu meninggal.

Saat Republika menyambangi Dukuh Jati pada Rabu (6/7/2023), kondisinya tampak normal. “Kondisi di sini masih biasa saja, masih seperti kemarin-kemarin, kaya ndak ada apa-apa,” ujar Yulius Sugeng Ari Susanto (38 tahun), kepala Dukuh Jati, Semanu, Gunungkidul saat ditemui Republika.

Baca Juga

Ia bahkan mendaku tak mengetahui persis siapa-siapa saja yang terdata menderita penyakit tersebut. “Kurang tahu juga saya ya karena datanya saya ndak dikasih dari dinas. Jadi saya ndak bisa menyebutkan berapa,” ujarnya. 

“Saya baca jumlahnya di berita tapi saya ndak tahu siapa-siapanya (yang terjangkit),” ia melanjutkan. Saat ini menurutnya tinggal satu warga Jati yang masih diopname di rumah sakit di Wonosari karena terjangkit antraks.

Terkait tradisi di desa itu yang disebut jadi salah satu penyebab penyebaran antraks, Yulius mengatakan hal itu sudah menahun dilakukan.

“Kalau khususnya di dusun kami, tradisi mbrandu itu sudah dilakukan simbah-simbah kami sampai sekarang. Mbrandu itu kalau ada warga yang sapinya mati, itu warga gotong royong membantu, biar kerugiannya nggak terlalu banyak. Intinya itu,” kata dia.

Ia mengatakan, warga di dukuh itu masih awam soal antraks. Sebagian juga sudah mengetahui ada bahaya dalam pelaksanaan tradisi tersebut. “Tapi ini kan sudah tradisi dari zaman dahulu nggak dari kapan, dari jaman simbah-simbah,” kata dia. 

Sejauh ini, warga hanya mengantisipasi penyebaran antraks dengan melakukan penyiraman dengan campuran formalin. “Cuman bisa ini, nyiram-nyriam thok. Itu saran dari Dinas Kesehatan Peternakan, terutama yang lokasinya sering jadi penyembelihan itu harus sesering mungkin disiram pakai formalin,” ujarnya.

Jika persediaan formalin habis, pengurus dukuh langsung meminta pasokan ke dinas terkait. Ia mengeklaim bahwa saat ini tak ada sapi di daerah itu yang tampak bergejala antraks. 

Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Pembayun Setyaningastutie mengatakan, faktor kesadaran masyarakat yang kurang menjadi salah satu kendala menyebarnya penyakit antraks. Ia menjelaskan bahwa warga yang memiliki gejala dan semua yang terindikasi harus melapor kepada tenaga kesehatan.

"Sepanjang keterbukaan informasi dari pasien dibutuhkan. Jadi memang ada juga yang tidak bercerita setelah selesai masa inkubasi sudah kelihatan pusing dan mual," ujar Pembayun kepada Republika, Kamis (6/7/23).

Ia memaparkan, pertama ditemukan kasus antraks di Dusun Jati pada Juni lalu saat ada warga yang dibawa ke RS Panti Rahayu dan ditemukan positif antraks. Kemudian tim dari Dinkes DIY dan Gunungkidul ke lapangan untuk penelitian etimologi.

Di sana ditemukan berbagai faktor yang menjadi penyebab menyebarnya penyakit ini, yakni tradisi mbrandu yang sudah mengakar kuat. Mereka terbiasa memakan daging ternak yang mati karena sakit. 

Menurut Pembayun, sebaiknya memang pada masa inkubasi atau setelah berkontak dengan ternak segera melapor ke petugas kesehatan. Nantinya mereka akan diberikan antibiotik yang harus diminum dalam masa inkubasi.

Pemberian antibiotik dalam masa inkubasi ini penting untuk mencegah berbagai gejala yang muncul seperti pusing dan mual. Gejala terparah adalah munculnya lesi dan koreng di kulit.

"Makanya penting untuk segera diberi pengobatan, tapi banyak juga yang tidak melapor. Masalah perilaku ini tidak bisa diselesaikan oleh Dinas Kesehatan maupun Pertanian," kata Pembayun.

Langkah selanjutnya, Dinkes DIY akan berkoordinasi dengan seluruh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-provinsi, serta Wonogiri dan Boyolali guna mengantisipasi penyebaran penyakit ini.

"Kami masih berkoordinasi dengan Kemenkes, apakah surat edaran ini akan diturunkan dari Kemenkes atau kami. Seperti ini kan juga ada faktor politik dan ekonominya yang harus dipertimbangkan," katanya.

Saat ini sebanyak 143 warga telah melakukan tes serologi dan ditemukan 87 orang yang telah terpapar. Adapun satu orang meninggal dunia akibat positif antraks, sedangkan dua warga yang meninggal dunia lainnya telah dikonfirmasi bukan karena antraks.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement