Kamis 29 Jun 2023 18:55 WIB

Rentetan Penolakan Perayaan Pride Month Propaganda LGBTQ+

Orang tua cemas dengan anak-anak mereka dengan masifnya kampanye LGBTQ+

Baju anak bertemakan kampanye LGBT di jual menjelang Pride month di toko Target, Hackensack, New Jersey, Amerika Serikat, Rabu (24 Mei 2023). Beberapa barang telah disingkirkan dari toko setelah Target menerima protes keras dari sejumlah pelanggan.
Foto: AP Photo/Seth Wenig
Baju anak bertemakan kampanye LGBT di jual menjelang Pride month di toko Target, Hackensack, New Jersey, Amerika Serikat, Rabu (24 Mei 2023). Beberapa barang telah disingkirkan dari toko setelah Target menerima protes keras dari sejumlah pelanggan.

Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Bulan Juni menjadi momentum propaganda LGBTQ+ atau yang sering disebut Pride Month. Selama satu bulan penuh, komunitas LGBTQ+ merayakan peristiwa Stonewall yakni demonstrasi untuk pembebasan gay pada 1969 di Amerika Serikat. Namun, perayaan itu kini mendapatkan penolakan yang semakin masif. Serangkaian protes di dunia maya ataupun unjuk rasa sudah tak terhindarkan.

Seperti yang terjadi di jantung perayaan komunitas LGBTQ+ yakni Monumen Nasional Stonewall, sekitar 68 bendera LGBTQ+ dirusak. Monumen tersebut merupakan monumen nasional AS pertama yang didedikasikan untuk sejarah LGBTQ+. Sejarah LGBTQ+ pertama kali didedikasikan di museum itu pada 2016.

Monumen ini mencakup taman di seberang jalan Stonewall Inn, sebuah bar tempat pelanggan melawan serangan polisi pada 28 Juni 1969, dan membantu memicu gerakan hak LGBTQ+ kontemporer. Pemberontakan Stonewall diperingati setiap tahun dengan pawai Pride Month di kota-kota di seluruh AS dan dunia.

Seorang ilmuwan politik dan data di Universitas Harvard, Jay Ulfelder telah melacak demonstrasi anti-LGBTQ+ sejak 2017. Data tersebut menunjukkan, demonstrasi anti-LGBTQ+ mengalami peningkatan sekitar 30 kali lipat dibandingkan dengan 2017.

Di dunia maya, cercaan untuk kelompok LGBTQ+ juga meningkat. Sebuah laporan dari Pusat Penanggulangan Kebencian Digital (CCDH) dan Kampanye Hak Asasi Manusia tahun lalu menemukan lonjakan 406 persen cuitan di Twitter yang mengejek kelompok LGBTQ+. Warganet mengejek kelompok LGBTQ+ dengan sebutan "groomer".

Salah satu yang mendapatkan penolakan keras ketika kampanye LGBTQ+ merambah dunia pendidikan. Sekolah-sekolah diajak untuk “menerima” komunitas LGBTQ+ dengan berbagai cara. Misalnya, menempelkan tanda ‘ruang aman’ seperti yang terjadi di Wisconsin.

Para pendukung siswa LGBTQ+ telah menyarankan agar para guru memasang tanda 'ruang aman' sebagai bentuk dukungan. Namun kebijakan yang diusulkan sekolah Arrowhead menyatakan bahwa tanda-tanda seperti itu, justru dapat menciptakan kesan melekat LGBTQ+ pada anak. Tanda-tanda tersebut seolah menjelaskan, beberapa area sekolah dianggap tidak setara karena ada tempat yang lebih aman daripada yang lain dan tanda-tanda yang mempromosikan satu kelompok di atas yang lain dapat membuat siswa merasa terisolasi.

The Los Angeles Unified School District (LAUSD) juga menuai kemarahan orang tua setelah mengumumkan bahwa akan ada pertemuan di Sekolah Dasar Saticoy untuk mengajar siswa tentang komunitas LGBTQ+. Disebutkan bahwa salah satu kegiatannya yakni siswa akan menonton video yang berisi konten "beberapa anak memiliki dua ibu, beberapa memiliki dua ayah."

"Hal ini menyebabkan kemarahan di kalangan orang tua, banyak dari mereka mengirim email/menelepon atasan LAUSD untuk mengeluhkan tentang kegiatan tersebut dan berencana tidak memperbolehkan anak pergi ke sekolah hari itu," tulis akun Instagram yang bernama Saticoy Elementary Parents dalam postingannya.

Di tempat lain, sejumlah siswa di Marshall Simonds Middle School, Burlington merobek dekorasi berwarna pelangi, ketika siswa LGBTQ+ merayakan Pride Month dengan membagikan stiker pelangi, memasang tanda Pride dan mendorong siswa untuk mengenakan pakaian berwarna pelagi. Para siswa yang memprotes perayaan Pride Month di sekolah meneriakkan, "USA are my pronouns".

Tahun ini di Florida, pejabat pendidikan memperluas inisiatif Gubernur Ron DeSantis yang membatasi diskusi LGBTQ+ di sekolah hingga kelas tiga. Kebijakan ini juga dikenal sebagai RUU "Jangan Katakan Gay". Para pendukung RUU anti-gay berpendapat bahwa hanya orang tua yang harus memutuskan kapan membahas topik seksualitas atau identitas gender dengan anak-anak.

Tak hanya lingkungan sekolah, penolakan kampanye LGBTQ+ juga terjadi di ruang public milik pemerintah. Hal ini terjadi di Kota Hamtramck, Detroit yang melarang pemasangan bendera LGBTQ+ di tiang bendera milik publik. Keputusan ini diambil setelah pertemuan menegangkan selama berjam-jam.

"Kalian dipersilakan (merayakan Pride Month). (Tapi) mengapa Anda harus memasang bendera di properti pemerintah untuk mewakili Anda? Anda sudah diwakili. Kami sudah tahu siapa Anda," kata anggota Dewan Kota Hamtramck, Nayeem Choudhury.

Dari segi ekonomi pun, kampanye LGBTQ+ mendapatkan penolakan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan jaringan supermarket Target yang menghapus beberapa produk bertema LGBTQ+ dan memindahkan pajangan koleksi Pride Month ke bagian belakang toko di beberapa wilayah AS. Langkah ini diambil setelah ada ancaman dan konfrontasi di toko-toko tertentu.

Seorang juru bicara Target mengatakan, telah terjadi peningkatan insiden barang dagangan Pride Collection yang dilempar ke lantai. Kini, sebanyak 2.000 barang termasuk kaus motif pelangi yang merujuk pada bendera pride gay yang menjadi simbol LGBTQ+ dihapus atau dipindahkan ke belakang toko. Selain itu, barang lainnya termasuk mug "gender fluid" dan buku anak-anak berjudul Bye Bye, Binary, Pride 1,2,3, dan I'm not a girl juga mengalami nasib serupa.

"Sejak memperkenalkan Pride Collection tahun ini, kami telah mengalami ancaman yang memengaruhi rasa aman dan kesejahteraan anggota tim kami saat bekerja," kata Target dalam sebuah pernyataan, dilaporkan BBC pada akhir Mei lalu.

Kelompok konservatif dan sayap kanan di AS berharap para anggota parlemen bisa mengesahkan dan memberlakukan undang-undang untuk membatasi kampanye LGBTQ+ masuk ke dunia pendidikan di sekolah-sekolah, melarang kampanye transisi gender masuk ke layanan kesehatan, dan kampanye LGBTQ+ lainnya.

Hampir 500 RUU anti-LGBTQ+ telah diajukan ke badan legislatif negara bagian sejak awal tahun ini. Menurut American Civil Liberties Union lebih dari 525 RUU anti-LGBTQ+ diusulkan dan lebih dari 70 diloloskan menjadi UU.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement