Sabtu 20 May 2023 04:23 WIB

Bukan Antarkandidat, Perseteruan Pilpres 2024 Dinilai Lebih Sengit Antara Jokowi dan Anies

Ganjar dinilai nyaris tidak miliki pengaruh dan upaya apa-apa dalam pengusungannya.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan keterangan kepada wartawan seusai meninjau Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) di Ancol, Jakarta Utara, Senin (25/4/2022). Presiden Joko Widodo meninjau secara langsung progres pembangunan serta persiapan di sirkuit tersebut.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan keterangan kepada wartawan seusai meninjau Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) di Ancol, Jakarta Utara, Senin (25/4/2022). Presiden Joko Widodo meninjau secara langsung progres pembangunan serta persiapan di sirkuit tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Persaingan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang dinilai akan lebih sengit mempertontonkan seteru kandidat dengan pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pengamat politik Dedi Kurnia Syah mengatakan, hal ini nampak dari dinamika koalisi dan pencapresan Ganjar Pranowo yang justru menunjukkan lebih banyak Jokowi yang terlibat.

Menurut dia, Ganjar yang merupakan bakal calon presiden dari PDIP justru tidak memiliki pengaruh dalam pengusungannya.

Baca Juga

"Lebih banyak seteru ilpres justru tidak antar kandidat, tetapi antara kandidat dan Jokowi. Misalnya, Ganjar nyaris tidak miliki pengaruh dan upaya apa-apa dalam pengusungannya, ia secara kasat mata diposisikan sebagai bakal capres oleh Jokowi dan Megawati, tetapi Ganjar tidak punya keputusan apa pun," ujar Dedi dalam keterangannya kepada Republika, Jumat (19/5/2023).

Dedi melanjutkan, begitu halnya dengan koalisi yang dibentuk mulai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) kemudian wacana koalisi besar yang belum terealisasi hingga saat ini, juga disebut-sebut ada campur tangan Jokowi. Menurut Dedi, Pilpres 2024 nantinya juga akan menunjukan persaingan ketat antara kandidat, khususnya yang berseberangan dengan koalisi Pemerintahan Jokowi dalam hal ini Anies Baswedan.

"Ini semacam Jokowi melawan Anies, dan Jokowi berusaha membangun pasukan melalui kelompok Ganjar dan Prabowo. Sejauh ini dari sisi Jokowi terkesan demikian, siapapun kandidat yang bersaing, Jokowi akan kerahkan kekuatan untuk gagalkan Anies, bahkan sejak pengusungannya saat ini," ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini mengatakan, kondisi ini juga sudah nampak dari renggangnya hubungan Jokowi dengan Partai Nasdem yang diketahui sudah menyatakan mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024 mendatang. Sejak deklarasi, Nasdem sudah tidak pernah dilibatkan Jokowi dalam pembahasan koalisi di Istana Negara.

Jokowi juga sudah menyebut Nasdem bukan dari koalisi pendukung pemerintah karena telah bergabung dengan Koalisi Perubahan. Terbaru, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sudah ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang kemudian dikaitkan dengan pilihan politik Nasdem.

Dia pun meyakini renggangnya hubungan Nasdem dan Jokowi ini akan terus berlangsung dalam kontestasi pilpres mendatang.

"Perseteruan Nasdem dan Jokowi akan berlangsung dingin, mengingat Jokowi yang berkarakter demikian, ia mudah memusuhi tetapi sering tidak secara langsung. Pun Surya Paloh, ia punya banyak catatan kepiawaian politik, sangat mungkin Nasdem juga akan secara dingin hadapi tekanan dan manuver Jokowi saat ini," katanya.

Dedi menilai, strategi 'perang dingin' ini perlu diterapkan Nasdem alih-alih melakukan serangan balik secara frontal. Hal ini sebagai langkah aman sebagai pihak yang ditekan dan dizalimi oleh pihak penguasa.

"Karena ia akan dianggap sebagai pihak yang ditekan sekaligus didzalimi, dibanding harus menyerang balik maka Jokowi bisa saja memenangi seteru politik itu," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement