REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, Ferdinand Yazid, menyarankan Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadikan Waskita Karya sebagai tersangka korporasi.
Hal yang menarik dalam kasus dugaan korupsi proyek fiktif yang membuat Kejagung menetapkan Dirut Waskita Karya Destiawan Soewardjono sebagai tersangka, adalah sudah adanya direktut dan pegawai lain yang juga ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya Tbk. periode Juli 2020 - Juli 2022, Taufik Hendra Kusuma: dan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya Tbk. periode Mei 2018 - Juni 2020, Haris Gunawan. “Jadi tidak hanya Dirut Waskita Karya saja yang kena,” kata Ferdinand, Jumat (5/5/2023).
Ia menduga kasus ini sistematis bertujuan untuk dilakukan atas nama korporasi. “Kejaksaan Agung sebaiknya tidak cuma menjadikan tersangka individu yang mewakili korporasi, tetapi juga korporasinya,” ungkap dia.
Sehingga, lanjut Ferdinand, Waskita Karya juga dianggap sebagai tersangka korporasi. Apalagi di pasal 20 UU Tipikor juga disebutkan tidak hanya individu tapi badan usaha juga bisa menjadi subjek dari UU Tipikor.
“Ke depannya akan sama seperti kasus yang melibatkan BUMN konstruksi lainnya, seperti Anindiya Karya, yang pernah juga dijatuhi pidana korporasi dalam pembangunan Dermaga di Sabang. Saat itu Anindiya Karya diduga merugikan keuangan negara Rp.313 miliar, karena mengarahkan proyek ke anak perusahaannya. Pemenang sudah ditentukan sebelum lelang,” papar Ferdinand.
Kasus dugaan proyek fiktif ini merugikan negara sekitar Rp.1,5 triliun. Modusnya dengan ada kontrak dengan swasta, tenyata pinjam nama dan bendera dari perusahaan lain. “Salah satunya dari wanita emas. Nilai kontraknya dibayar oleh Waskita Karya, tapi kontraknya tidak ada. Fiktif,” kata Ferdinand.
Kalau ada proyek fiktif, menurutnya, auditnya tidak berjalan. Padahal BUMN harusnya menerapkan tata kelola yang baik, sehingga audit menjadi komponen yang penting. “Auditnya hanya formal tidak dilakukan secara substansial,” ungkap Ferdinand.
Aktvis antikorupsi ini juga mengingatkan, ketika berambisi menyambungkan seluruh Indonesia dengan infrastuktur yang merata, pemerintah juga melihat kemampuan finansial BUMN.
Jika dipaksa membangun tanpa melihat kemampuan finansial, menurut Ferdinand, berbahaya. Dijelaskannya, jika itu dilakukan maka BUMN rentan mendapat tekanan tinggi untuk menyelesaikan proyek, tapi dengan cara-cara tata kelola perusahaan yang tidak baik. “Contohnya ada korupsi dan ada persetujuan pembayaran kontrak padahal kontaknya fiktif,” kata Ferdinand.
Karena itulah, lanjut dia, maka bisa saja kasus Waskita Karya ini dijadikan sebagai tersangka korporasi. Sebab sudah ada tindak pembiaran. “Juga patut dipertanyakan apakah komisaris yang bertugas mengawasi dan memberi nasihat pada direktur dan manajemen sudah memberikan laporannya. Atau mereka hanya sebagai pajangan,” papar Ferdinand.