Ahad 16 Apr 2023 21:10 WIB

Tiktoker Bima Dipolisikan, PBHI: Masyarakat Berhak Kritik Pejabat karena Bayar Pajak

PBHI menilai Bima Yudho menjadi korban UU ITE setelah mengkritik kondisi Lampung.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Warganet yang juga pelajar warga negara Indonesia (WNI) asal Lampung di Australia, Bima Yudho Saputro.
Foto: Dok pribadi
Warganet yang juga pelajar warga negara Indonesia (WNI) asal Lampung di Australia, Bima Yudho Saputro.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani merespons pelaporan terhadap TikTokers Bima Yudho ke kepolisian usai mengkritik kondisi jalanan wilayah Lampung yang tidak maju-maju. Julius menilai pelaporan itu tidak mencerminkan kebebasan sipil dan berpendapat masyarakat.

Padahal, masyarakat termasuk dalam hal ini Bima berhak mengkritik atas pajak yang dibayarkannya.

Baca Juga

"Masyarakat adalah orang yang berhak untuk mengkritik atas pajak yang dibayarkannya. Jadi, kalau memang tidak bisa dikritik maka sebaiknya negara dan pejabat mencari duit sendiri bukan dari pajak terhadap rakyat," kata Julius dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (16/4/2023).

Julius juga menyampaikan ironi saat ini yakni tidak adanya jaminan kebebasan berpendapat masyarakat. Meskipun kritikannya tersebut menyangkut hak publik. Apalagi, yang menjadi penekanan kritikan Bima adalah infrastruktur di Provinsi Lampung.

"Jadi belum ada satupun jaminan bagi masyarakat untuk tetap bebas mengkritik, menyampaikan pendapat sebagai pembayar pajak konstituen yang berhak atas pendapat dan kritik itu," ujarnya.

Julius menyebut, tidak adanya kekebasan berpendapat ini makin nyata setelah lahirnya Undang-undang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) khususnya tentang pemidanaan bagi defamasi atau pencemaran nama baik. Selain karena pengaturan yang masih multitasir, penerapan UU ITE ini juga diperkeruh dengan implementasi di lapangan yang merugikan masyarakat dan memberikan keuntungan bagi segelintir pihak.

"Ini semakin menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah, kritik terhadap penguasa, kritik terhadap pejabat negara itu sama sekali tidak diperbolehkan," ujarnya.

Julius mencatat dalam lima tahun pertama implementasi UU ITE ini, pihak yang paling diuntungkan dengan adanya regulasi ini adalah pejabat negara dan pengusaha. Sementara, korban yang paling banyak adalah buruh dan juga jurnalis.

Menurutnya, meski terdapat Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri yang digagas Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pun tidak bisa menjawab persoalan ketimpangan di lapangan.

"Jadi dari ketimpangan-ketimpangan itu terlihat jelas ya konteks strukturalisme, siapa pengguna dan pemanfaat dari undang-undang ITE dan pasal-pasal defamasi yang multi tafsir ini," katanya.

Sebelumnya, pemuda asal Lampung Timur yang tinggal di Australia itu, merilis video berdurasi 3 menit 28 detik di media sosial miliknya @awbimaxreborn. Ia menyampaikan, kekecewaannya terhadap kondisi di Lampung yang menurutnya tidak mengalami kemajuan. Mulai persoalan infrastruktur seperti jalan yang rusak hingga kecurangan dalam sistem pendidikan.

Atas konten tersebut, Bima diadukan ke Polda Lampung terkait pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia dituduh menyampaikan hoaks. Selain itu, keluarga Bima juga sempat didatangi pihak kepolisian.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement