Selasa 11 Apr 2023 10:49 WIB

Menkominfo: Revisi UU ITE Masukkan Restorative Justice

Revisi UU ITE dibentuk untuk menciptakan ketertiban di ruang siber

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi. Salah satu materi muatan yang akan hadir adalah penerapan restorative justice.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi. Salah satu materi muatan yang akan hadir adalah penerapan restorative justice.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi. Salah satu materi muatan yang akan hadir adalah penerapan restorative justice.

"Usulan ini direncanakan dimuat dalam dua bagian dalam RUU ITE, yakni keadilan restoratif berupa upaya penyelesaian tindak pidana yang merupakan delik aduan di Pasal 25 Ayat 5 RUU ITE dan di bagian penjelasan. Di mana bentuk aplikasi restorative justice yang dimaksud adalah di luar pengadilan," ujar Johnny dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (10/4).

Revisi UU ITE dibentuk untuk menciptakan ketertiban di ruang siber. Terdapat pula, pengaturan tentang cyber crime yang merujuk pada the Budapest Convention on Cybercrime dan memperbarui ketentuan hukum pidana, dengan memberikan konteks ruang siber pada ketentuan hukum pidana.

"Kementerian Kominfo telah mengadakan diskusi publik RUU ITE ini di bulan September dan Desember 2022. Dari diskusi tersebut terdapat masukan bahwa RUU ITE perlu menyertakan norma restorative justice," ujar Johnny.

 

Di samping itu, menjelaskan, sebanyak 10 pasal dalam UU ITE akan dicabut dalam pembahasan revisinya. Pencabutan tersebut terjadi karena sahnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Pasal 622 Ayat 1 huruf r Undang-Undang nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP terdapat ketentuan dalam UU ITE yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku," ujar Johnny.

Adapun 10 pasal yang dicabut, pertama adalah ketentuan Pasal 27 Ayat 1 mengenai kesusilaan dan Ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, ketentuan Pasal 28 Ayat 2 mengenai ujaran kebencian berdasarkan SARA.

Ketiga, ketentuan Pasal 30 mengenai akses ilegal. Keempat, ketentuan Pasal 31 mengenai intersepsi atau penyadapan. Kelima, ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.

"Keenam, ketentuan Pasal 45 Ayat 1, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 terkait kesusilaan dan Ayat 3 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 Ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik," ujar Johnny.

Tujuh, ketentuan Pasal 45a Ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 terkait ujaran kebencian berdasarkan SARA. Selanjutnya, ketentuan Pasal 46 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 30 terkait akses ilegal.

Sembilan, ketentuan Pasal 47 mengenai ancaman pidana mengenai pelanggaran pidana Pasal 31 terkait intersepsi atau penyadapan. "Dan ke-10, ketentuan Pasal 51 Ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 36 terkait pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain," ujar Johnny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement