Kamis 23 Mar 2023 21:45 WIB

Apakah Masyarakat akan Terpolarisasi Lagi pada Pilpres 2024? Ini Kesimpulan SMRC

Pembelahan bisa terjadi dalam banyak kutub, bukan polarisasi tapi anarki.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andri Saubani
Founder Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani. SMRC baru-baru ini menggelar studi untuk mengetahui apakah masyarakat akan kembali terpolarisasi pada Pemilu 2024. (ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Founder Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani. SMRC baru-baru ini menggelar studi untuk mengetahui apakah masyarakat akan kembali terpolarisasi pada Pemilu 2024. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri SMRC, Prof Saiful Mujani mengatakan, isu mengenai polarisasi perdebatan lama yang pada mulanya lebih banyak mengenai persoalan ekonomi, kiri atau kanan. Di Indonesia, perdebatan mengenai ideologi ekonomi ini relevan.

Ada yang berharap negara lebih mengambil peran dalam menanggulangi persoalan ekonomi yang ada, namun kemungkinan ada pula yang tidak menginginkan. Yang lebih penting, perlu dilihat apakah perbedaan ideologi membuat masyarakat terbelah.

Baca Juga

Kemudian, apakah cukup besar warga yang ada di ekstrem kanan dan cukup besar yang berkumpul di ekstrem kiri karena ini konsep polarisasi. Dalam studi yang telah dilakukan SMRC masyarakat diminta memberi skor pada dirinya antara 0-10.

Semakin mendekati 0 berarti semakin pro pandangan pemerintah bertanggung jawab bagi kesejahteraan rakyat. Semakin mendekati 10 berarti semakin mendukung ide rakyat mengurus diri sendiri dan bertanggung-jawab atas keberhasilan hidupnya.

Hasilnya, rata-rata skor 4,31. Artinya, masyarakat ada kecenderungan ideologi pro intervensi negara dalam kesejahteraan rakyat. Secara umum, data menunjukkan masyarakat ingin negara lebih banyak berperan untuk kesejahteraan masyarakat.

"Cukup kiri jika menggunakan istilah di Amerika atau sosialis dalam istilah Eropa," kata Saiful, Rabu (23/3/2023).

Saiful menekankan, data ini tidak mengkonfirmasi adanya polarisasi. Alasannya karena ekstrem kanan dan kiri tidak lebih tinggi dari yang di tengah. Kalau dibuat pengelompokan dari 0-3, ini lebih rendah dibanding yang tengah, 4-6.

Ini menunjukkan kurva normal yang berarti masyarakat Indonesia lebih moderat dalam ideologi ekonomi. Artinya, di satu sisi masyarakat ingin bisa berusaha sendiri, tapi di sisi lain tetap menganggap penting pula peran dari negara.

Sebab, kenyataannya banyak masyarakat yang membutuhkan peran negara. Saiful menerangkan, walaupun cenderung kiri dan menginginkan intervensi negara, data ini menunjukkan kalau masyarakat Indonesia sebenarnya secara umum moderat.

Kalaupun masyarakat sangat ekstrim ke kiri, mayoritas pro intervensi negara, itu tidak menunjukkan polarisasi karena pro-individu tidak banyak. Polarisasi harus ada dua kecenderungan atau dua kutub ideologis yang relatif seimbang dan besar.

Pembelahan bisa terjadi dalam banyak kutub, bukan polarisasi tapi anarki. Ciri, banyak kutub ideologi dan tidak ada kekuatan mayoritas yang menjembatani semua keragaman dan perbedaan. Di masyarakat yang normal, terdapat kekuatan moderat.

Yang mana, menjembatani perbedaan atau keragaman. Kekuatan moderat ini yang bisa menyatukan masyarakat. Kalau tidak bisa disatukan, maka terjadi polarisasi atau anarki, banyak kutub dan tidak memiliki titik temu, bahkan bisa terancam bubar. 

"Walaupun cenderung ke kiri atau pro-negara, pada umumnya masyarakat Indonesia menunjukkan gejala normal, tidak terjadi polarisasi atau anarki," ujar Saiful.

Studi ini menunjukkan dalam persaingan politik antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, umumnya pemilih keduanya berada di tengah. Kedua pendukung sama-sama memiliki kecenderungan kiri atau menginginkan intervensi negara dalam ekonomi.

Pada posisi kanan, pro-peran individu, kedua tokoh ini memiliki pendukung yang lemah. Kondisi ini tidak menunjukkan polarisasi. Kalau terjadi, pendukung Anies tinggi di kanan, pendukung Ganjar tinggi di kiri, dan tengah kosong atau rendah.

"Persaingan Anies dan Ganjar tidak membuat masyarakat terpolarisasi dari spektrum ideologi ekonomi kiri dan kanan atau pro-negara dan pasar," kata Saiful.  

Pola yang sama terjadi ketika Anies berhadapan dengan Prabowo. Kecenderungan pemilih keduanya pro-negara. Demikian pula antara pemilih Ganjar dan Prabowo dengan pola sama. Jadi, kekhawatiran polarisasi tidak memiliki dasar empiris.

Saiful meyakini, masyarakat tidak bisa berubah drastis dalam waktu yang singkat. Kampanye tidak bisa mengubah sikap dari yang moderat jadi terpolarisasi secara ekonomi. Ia merasa, isu polarisasi lebih banyak dibesarkan sekelompok orang.

"Siapapun yang maju antara tiga nama paling kompetitif sekarang (Ganjar, Prabowo, Anies), tidak punya masalah dengan polarisasi. Masyarakat Indonesia umumnya adalah moderat dan tidak bisa dipolarisasi persaingan politik dalam Pilpres," ujar Saiful. 

 

photo
Relawan Ganjar Mania - (Republika/berbagai sumber)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement