REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isu politik identitas dinilai tidak menguntungkan siapa pun, terlebih bakal calon presiden yang akan maju berkompetisi memperebutkan suara peserta pemilu 2024. Isu politik identitas berpotensi memecah belah persatuan.
“Pernyataan bakal capres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, soal politik identitas tak bisa terhindar dalam Pemilu 2024 bisa menjadi bumerang. Ini adalah strategi yang kontraproduktif,” kata Pengamat Politik Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin, dalam keterangannya pada Kamis (23/3/2023).
Ujang bicara elemen yang terdapat dalam politik identitas, yakni kesukuan atau etnisitas. "Masing-masing suku akan bersemangat dengan dukungannya terhadap suku atau entitas golongannya sendiri," kata Ujang dalam pesan yang diterima, Rabu (22/3/2023).
Namun, Ujang mengatakan, tren kekinian bukan lagi soal suku atau hubungan primordial lainnya. Kondisi saat ini, masing-masing orang memiliki standar tersendiri melampaui soal identitas yang melekat pada dirinya.
"Tergantung tingkat kesukaan publik, dari suku masing-masing terhadap capres-cawapres itu ya pasti akan mengemuka soal politik identitas soal kesukuan itu," kata dia
"Oleh karena itu saya melihat pertarungan etnisitas mungkin akan mengemuka sebagai bagian dari politik identitas yang akan muncul di Pilpres 2024," kata dia
Ujang mengatakan bahwa politik identitas mungkin saja akan berdampak negatif terhadap tokoh siapa pun dia, tak terkecuali Anies sendiri, tetapi tak menutup kemungkinan justru akan menguntungkan.
"Soal etnisitas itu memang tak sederhana. Kita harus melihat secara positif apapun sukunya baik Anies, Prabowo, Airlangga, Ganjar. Apapun latar belakangnya mereka semua tetap Indonesia," tandasnya.
Pidato Anies
Sebelumnya, Bakal calon presiden Anies Baswedan menyebut calon yang bersaing di kontes politik selalu memiliki identitas. Sehingga Anies menilai politik identitas tak bisa dihindari.
"Politik identitas itu adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Misalnya calon yang bersaing adalah laki-laki dan perempuan, maka di situ ada identitas gender," ucap Anies di Hotel Shangri-La Surabaya, Jumat (17/3) malam.
Dalam forum diskusi dengan pemimpin dan kepala redaksi media massa yang diselenggarakan Partai NasDem itu, Anies juga menyebut politik identitas bisa terjadi bila ada dua calon yang berbeda suku.
Anies menilai, pada situasi tersebut pendukung kedua kubu bisa berkutat dengan isu perbedaan suku. Ia pun menilai hal tersebut lumrah terjadi di pemilu.
Anies pun mengisahkan soal Pilkada DKI 2017 yang ia sebut persaingan antar pasangan calon dengan latar belakang beda agama. Anies berpasangan dengan Sandiaga Uno melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat.
"Terjadi pada 2017, calon yang bersaing agamanya berbeda. Maka identitasnya yang terlihat adalah agama. Itu akan terus terjadi selama calonnya punya identitas berbeda, baik gender, suku, maupun agama," lanjutnya.
Menurut Anies, penting bagi tiap calon yang bersaing dalam pemilu untuk memiliki kedewasaan, baik calon yang menang maupun yang kalah. Pemilu selesai, ia mengatakan harus ada titik temu antara masing-masing kubu. "Yang menang mau merangkul yang kalah. Sedangkan yang kalah juga harus mau mengakui kekalahannya," kata Anies
Anies pun mengatakan tak masalah bagi siapapun untuk tidak suka kepadanya. Ia beranggapan meski dirinya dibenci karena identitas yang berbeda, tapi ia tetap akan mengajak orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya. "Saya akan selalu mengajak siapapun untuk berdiskusi, bersama-sama membangun gerakan-gerakan yang kontributif membawa perubahan," sebutnya.