REPUBLIKA.CO.ID, Perang antara Rusia dan Ukraina sudah memasuki tahun pertama. Banyak situasi telah berubah sejak pertempuran meletus pada 24 Februari 2022 lalu. Salah satu momen perubahan terjadi pada 30 September tahun lalu, yakni ketika Ukraina secara resmi mengajukan permohonan keanggotaan kepada Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Salah satu alasan Rusia menyerang Ukraina adalah untuk mencegah negara tersebut bergabung dengan NATO. Moskow menilai, kehadiran NATO di garis perbatasannya akan menjadi ancaman langsung dan signifikan bagi keamanannya. Oleh sebab itu, Rusia menolak jika NATO memperluas ekspansinya ke timur Eropa, terlebih merangkul Kiev menjadi anggotanya.
Situasi di perbatasan Ukraina sudah memanas sejak Desember 2021. Kala itu dilaporkan bahwa Rusia telah mengerahkan sekitar 10 ribu pasukannya ke dekat perbatasan Ukraina. Namun Moskow mengklaim bahwa kehadiran mereka di sana adalah untuk latihan.
Memasuki 2022, jumlah pasukan Rusia yang ditempatkan di perbatasan Ukraina terus bertambah. Jumlahnya diperkirakan mencapai 190 ribu tentara. Saat situasi demikian, alih-alih meredam ketegangan, NATO justru seolah sengaja “memancing” kemarahan Rusia. Pada 9 Februari 2022, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan, pintu NATO terbuka untuk Ukraina. Namun jika hendak bergabung, Kiev, kata Stoltenberg, harus terlebih dulu melakukan reformasi.
“Semakin sukses Ukraina dalam menerapkan reformasi, semakin dekat harapan Ukraina untuk memenuhi standar NATO, dan semakin dekat Anda bisa menjadi anggota NATO,” ujar Stoltenberg dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Ukraina Denys Shmyhal.
Komentar Stoltenberg tersebut kian memanaskan situasi. Moskow menilai, kekhawatirannya yang sudah disampaikan perihal keanggotaan Ukraina dalam NATO “diabaikan”. Pada 24 Februari, Rusia akhirnya menginisiasi serangan ke Ukraina. Barat menyebutnya “agresi”. Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin melabeli keputusannya sebagai “operasi militer khusus”.
Setelah diserang Rusia, pada Maret 2022, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sempat menyampaikan bahwa negaranya memang tidak mungkin menjadi anggota NATO. “Jelas bahwa Ukraina bukan anggota NATO, kami memahami ini. Selama bertahun-tahun kami mendengar tentang pintu yang tampaknya terbuka, tapi juga telah mendengar bahwa kami tidak akan masuk ke sana, dan ini adalah kebenaran dan harus diakui,” ucapnya.
Namun tujuh bulan setelah pecahnya pertempuran, tepatnya pada 30 September 2022, Ukraina berubah haluan. Ia secara resmi mengajukan permohonan keanggotaan kepada NATO. Langkah itu diambil hanya beberapa jam setelah Putin mengesahkan aneksasi empat wilayah Ukraina, yakni Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia.
“De facto, kita sudah menuju NATO. Secara de facto, kami telah membuktikan kompatibilitas dengan standar aliansi. Mereka nyata untuk Ukraina – nyata di medan perang dan dalam semua aspek interaksi kita. Kami saling percaya, kami saling membantu, dan kami saling melindungi. Ini adalah aliansi. Secara de facto. Hari ini, Ukraina mengajukan permohonan untuk menjadikannya de jure,” kata Zelensky saat mengumumkan permohonan "cepat" keanggotaan negaranya ke NATO.
Karena masih dalam keadaan berperang, NATO tidak mungkin menerima masuknya Ukraina. Terdapat Pasal 5 NATO yang mengatur bahwa jika salah satu anggotanya diserang, maka serangan tersebut harus dipandang sebagai agresi ke semua anggota. Vladimir Putin sempat menyatakan bahwa jika harus berperang dengan NATO, Rusia pasti kalah,
Namun Putin memperingatkan bahwa Rusia merupakan salah satu negara kekuatan nuklir. Menurutnya, tidak akan ada pemenang jika Rusia harus berperang dengan NATO. Hingga saat ini, belum ada kelanjutan tentang proses permohonan keanggotaan Ukraina di NATO. Kendati demikian, negara anggota NATO secara aktif memberikan bantuan militer kepada Kiev.
Pada 5 Februari 2023 lalu, Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov mengklaim, secara de facto negaranya telah menjadi anggota NATO. Pernyataannya terkait dengan aliran bantuan persenjataan yang sudah diperoleh Ukraina dari Barat. “Saya benar-benar berani mengklaim bahwa kami telah menjadi negara NATO de facto. Kami hanya memiliki bagian de jure yang tersisa,” kata Reznikov.
Kemudian pada 14 Februari 2023 lalu, Jens Stoltenberg menyerukan negara-negara Barat untuk meningkatkan pasokan amunisi dan logistik perang ke Ukraina. Dia menuduh Vladimir Putin sedang mempersiapkan serangan-serangan baru. “Kami tidak melihat tanda-tanda bahwa Presiden Putin sedang mempersiapkan perdamaian. Apa yang kami lihat sebaliknya, dia sedang mempersiapkan lebih banyak perang, untuk aksi ofensif dan serangan baru,” ujar Stoltenberg kepada awak media menjelang pertemuan para menteri pertahanan negara anggota NATO di Brussels, Belgia.
Menurutnya, saat ini konflik di Ukraina sudah menjadi perang yang menguras tenaga. “Oleh karena itu, ini juga merupakan pertempuran logistik,” kata Stoltenberg.
Dalam pidato kenegaraan di Majelis Federal Rusia pada 21 Februari 2023 lalu, Putin kembali menyampaikan bahwa negaranya siap menjalin dialog keamanan dengan Barat. Namun Rusia justru menerima “reaksi munafik” dan ekspansi NATO jauh ke timur Eropa.
"Kami terbuka dan dengan tulus siap untuk dialog konstruktif dengan Barat. Kami mengatakan dan bersikeras bahwa Eropa dan seluruh dunia membutuhkan sistem keamanan yang tak terpisahkan yang setara untuk semua negara. Selama bertahun-tahun, kami telah menawarkan mitra kami untuk membahas gagasan ini bersama-sama dan mengerjakan implementasinya," kata Putin.
"Sebagai tanggapan, kami menerima reaksi yang tidak jelas atau munafik. Namun ada juga tindakan khusus: perluasan NATO menuju perbatasan kami dan pembuatan situs perisai rudal baru di Eropa dan Asia,” ujar Putin menambahkan.
Saat ini selain Ukraina, terdapat dua negara lain yang juga tengah mengajukan permohonan keanggotaan ke NATO, yakni Swedia dan Finlandia. Serangan Rusia ke Ukraina mendorong Stockholm dan Helsinki memutuskan bergabung dengan NATO. Finlandia memiliki perbatasan darat sepanjang 1.340 kilometer dengan Rusia. Sementara Swedia dan Rusia hanya dipisahkan Laut Baltik.
Selama tujuh dekade, Swedia dan Finlandia memutuskan menjadi negara netral dan tak bergabung dengan NATO. Keduanya menilai, sikap demikian membuat mereka lebih aman. Namun serangan Rusia terhadap Ukraina mengubah sikap dan pandangan mereka.