REPUBLIKA.CO.ID,
Warga Resah Klitih Kembali Terjadi
SLEMAN -- Ridwan (34 tahun) mengaku resah dengan aksi kejahatan jalanan yang dilakukan sejumlah pemuda di titik nol kilometer beberapa waktu lalu. Sebab menurutnya peristiwa seperti itu bukan kali ini saja terjadi di Kota Gudeg itu.
"Sudah sering itu kejadian emang, ya dibilang meresahkan ya meresahkan," kata Ridwan kepada Republika.co.id, Kamis (9/2/2023).
Apalagi, dirinya sehari-hari dirinya berprofesi sebagai ojek online (ojol). Ridwan khawatir peristiwa tersebut menimpa dirinya. "Takutnya saya lagi ambil orderan malam kena sasaran dari mereka," ujarnya.
Ia berharap kepolisian segera menindak pelaku kejahatan jalanan di DIY. Menurutnya kejadian tersebut justru hanya akan mencoreng DIY yang dikenal dengan semboyan Jogja Berhati Nyaman. "Ya takutnya wisatawan jadi takut ke Jogja, dampaknya kan kemana-mana, ke pariwisata, ke pendapatan kami yang sehari-hari bergantung sama jalanan," tuturnya.
Keresahan juga disampaikan Ragil Anggara (29 tahun). Menurutnya motif penyerangan kasus kejahatan jalanan terbaru tidak jelas, lantaran pelaku tidak merampas barang korban dan hanya merusak motor korban. Tindak kekerasan serupa itu tidak pernah ia temui di tahun 2009-2012.
Ia menyarankan agar kampung kembali menerapkan ronda. Menurutnya ronda dinilai efektif mengamankan lingkungan dari pelaku kejahatan. "Ronda penting kalau ada kasus-kasus gini mungkin korbannya bisa lari ke suatu kampung dia belok-belok ketemu orang ronda aman gitu," ujarnya.
Ragil menilai pemerintah belum sepenuhnya fokus menangani kasus kejahatan jalanan di DIY. Pihak terkait juga jarang melakukan patroli untuk mengamankan situasi. "Itu kan masih anak-anak SMA, mungkin ini dampak kebanyakan libur apa gimana ya nggak tau, tapi kalau bisa hilang sih (kejahatan jalanan)," ujarnya
Sementara itu Raynald Alfian memandang klitih yang kini diidentikkan dengan kejahatan jalanan seolah sudah menjadi bagian dari suatu kebudayaan masyarakat Yogyakarta. Sebab kabar mengenai tindak kekerasan yang melibatkan anak-anak muda itu seperti tidak ada hentinya bersliweran di media sosial maupun di media massa.
"Entah berupa cerita korban atau rekaman dan foto sekelompok anak muda yang sedang mengacung-acungkan senjata tajam. Fakta yang terjadi di lapangan kadang kala simpang siur ada yang berupa hoaks ada juga yang berakhir korban jiwa," ujarnya.
Dosen ISI itu mengaku khawatir jika tiba-tiba dirinya atau anggota keluarganya menjadi korban kekerasan jalanan tersebut. Keamanan yang harusnya merupakan jaminan pemerintah dan aparat kepolisian kepada masyarakat menjadi hanya sekedar formalitas saja.
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kerja keras yang telah dilakukan oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah Yogyakarta, nyatanya klitih atau yang sudah diganti oleh mereka menjadi kejahatan jalanan masih saja terjadi. Bahkan yang terakhir terjadi di KM Nol yang secara lokasi hanya berjarak beberapa meter dari halaman depan Kantor Istana Kepresidenan, dan Kantor Gubernur DIY," jelasnya.
Menurutnya, lokasi yang seharusnya terjamin keamanannya justru malah tidak aman dari tindakan kriminal. Adanya peristiwa yang terjadi di dekat kantor orang nomor satu di negara dan Provinsi ini justru mengkhawatirkan.
"Bukan tidak mungkin juga akan terjadi di halaman rumah saya suatu saat.
Sebagai warga Jogja tentu hal tersebut meresahkan saya, terlebih terkait rasa keamanan atau keslamatan saya dan keluarga saya," ujarnya.
Alfian menyarankan aparat pemerintahan dan keamanan hadir di tengah masyarakat untuk memberikan keamanan. Baik dengan cara patroli rutin 24 Jam di wilayah DIY, penyuluhan anti kekerasan di sekolah-sekolah, atau memfasilitasi kegiatan positif remaja di DIY. Kemudian diperlukan juga proses penegakan hukum yang tegas dan jelas kepada pelaku klitih.
"Menurut saya banyak penegakan hukum terkait klitih terkesan kurang maksimal dan hanya seperti asal memenuhi kemarahan masyarakat saja. Proses hukum dan vonis hukuman klitih menurut saya tidak memberikan efek jera kepada pelaku klitih di DIY hal ini pula yang melanggenggkan budaya klitih," tegasnya.