REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai persoalan terjadi di dalam tubuh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bagi peneliti di Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN, Maxensius Tri Sambodo, masalah yang paling terasa sejak BRIN terbentuk adalah terjadinya polarisasi yang tidak sehat serta adanya perasaan seperti dikawin paksa.
"Di dalam tubuh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sendiri ada faktor tadi, polarisasi-polarisasi yang tidak sehat. Sementara teman-teman yang dari luar itu merasa mereka dilakukan suatu kawin paksa, dan mereka saat ini masih mencari bentuknya. Banyak yang juga frustrasi menyesal kenapa gabung," ujar pria yang kerap disapa Max itu kepada Republika, Rabu (8/2/2023).
Soal polarisasi, dia menjelaskan, peneliti dan periset di LIPI seperti terpecah-belah dengan berbagai narasi yang ada. Mulai dari peneliti yang pro satu pihak dengan pihak lainnya, generasi muda dengan generasi tua, hingga generasi yang antiperubahan dengan generasi yang suka dengan perubahan. Narasi-narasi itu dia sebut dibangun untuk melanggengkan suatu kekuasaan.
"Itu kan tidak boleh. Seseorang yang menolak perubahan bukan berarti dia antiperubahan. Mungkin dia punya cara lain untuk melakukan suatu perubahan. Tidak bisa kemudian dicap, 'wah kamu antiperubahan'. Tidak begitu. Polarisasi-polarisasi yang dibangun ini menjadikan lingkungan kerja tidak sehat," kata Max menjelaskan.
Persoalan tersebut merupakan persoalan yang ada di LIPI selepas dilebur ke BRIN. Max juga mengungkapkan persoalan yang dia lihat terjadi di luar LIPI, yakni peneliti dan periset yang ada di lembaga lain.
Mereka, menurut dia, seperti dikawin paksa. Dengan ekosistem kerja yang sudah nyaman di masing-masing lembaga, mereka dipaksa masuk BRIN. "Jadi apa yang saya lihat dalam tiga tahun ini, situasinya storm. Badai. Terus terjadi badai. Dan badai di dalam ini kan dilihat orang lain. Oh iya benar ini ada sesuatu kegelisahan. Sekarang kan harusnya gelisah itu diselesaikan, tapi pemerintah jalan terus," kata dia.
Tidak Pancasilais