REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dinilai tidak tepat oleh sejumlah pihak. Adapun rencana revisi beleid tersebut diprakarsai Kementerian Kesehatan juga berencana untuk melarang penjualan rokok batangan.
Menaggapi hal ini, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun mengatakan pada 25 Januari lalu, KERIS bersama 26 kumpulan pelaku ekonomi rakyat dan pedagang mendeklarasikan Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil, sebagai pernyataan sikap sekaligus bentuk nyata partisipasi aktif.
“Kami mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Seluruh pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang kelontong, dan teman-teman ekonomi rakyat kecil," ujarnya, Selasa (7/2/2023).
Wacana larangan penjualan rokok batangan memiliki konsekuensi ketidakadilan bagi kondisi ekonomi rakyat kecil. Sebab, banyak pedagang yang bakal terdampak atas kebijakan ini, bahkan berpotensi kehilangan sumber pendapatan.
Hal ini dikarenakan banyak pedagang yang memiliki modal kecil dan hanya bisa menjual rokok secara batangan.
“Rencana larangan penjualan rokok batangan ini terbit tanpa memikirkan aspek-aspek lainnya,” ucap Ali.
Pada kesempatan berbeda, pengamat kebijakan, Agustinus Moruk Taek, menjelaskan selama ini penyusunan kebijakan di Indonesia terlalu fokus terhadap hukum dan sering alpa dalam melihat konteks maupun keadilan regulasi. Hal tersebut membuat suatu regulasi tidak tepat guna, karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang seharusnya mendasari suatu kebijakan.
Imbasnya, regulasi yang terbit justru menimbulkan ketidakadilan dan masalah baru. Dalam studi yang dilakukannya, Agustinus menyimpulkan rencana revisi PP 109/2012 dilakukan tanpa riset yang kuat.
Dia menyebut muatan revisi hanya berisi kausalitas tanpa argumentasi dan dukungan data yang akurat. “Jadi, apakah PP 109/2012 mendesak direvisi? Jawabannya tidak,” paparnya.
Alih-alih menjadi solusi, Agustinus menekankan bahwa revisi berpotensi menganggu stabilitas ekonomi dan sosial karena akan menjadi tekanan baru bagi seluruh mata rantai industri tembakau, termasuk para pedagang kecil yang tergolong pelaku UMKM.