Sementara itu, peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Wasisto Raharjo Jati, menilai penggantian sosok kepala bukan solusi utama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di BRIN. Menurut dia, pembentukan ekosistem yang belum sepenuhnya benar yang menjadi masalah terpenting saat ini.
"Saya pikir mengganti kepala saja itu bukan solusi utama. Jadi yang paling penting menurut saya pribadi adalah pembentukan ekosistem kita yang belum sepenuhnya benar," ungkap Wasisto lewat sambungan telepon, Jumat (3/2/2023) lalu.
Dia mengambil sejumlah contoh masalah dalam ekosistem riset yang dia maksud, seperti masalah birokratisasi pengetahuan, penilaian pemberian gaji yang adil bagi periset, termasuk periset yang berprestasi di dalam risetnya, dan fasilitas bagi periset untuk bisa melakukan penelitian. Menurut Wasisto, semua itu sejauh ini agak dilupakan.
"Saya pikir itu yang paling penting dan selama ini agak dilupakan oleh ekosistem riset kita. Menurut saya pribadi sistem ini yang sebenarnya harus dibenahi dulu. Larena kalau kepalanya diganti tapi sistemnya tidak berubah, ya sama saja," jelas dia.
Dia kemudian menyebutkan salah satu contoh hal yang membuat periset merasa terkekang terkait dengan pemenuhan output riset berupa publikasi jurnal internasional. Menurut dia, tidak semua SDM peneliti mampu untuk itu. Pemenuhan output riset, kata dia, tidak harus selalu berbentuk publikasi jurnal, melainkan harus bisa terdiversifikasi yang dapat lebih berguna bagi pengguna dan masyarakat.
"Karena yang keadaan itu lebih kepada disempitkan sesama periset. Harusnya masyarakat juga harus bisa merasakan manfaat dari riset itu," jelas dia.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, menjelaskan, ketentuan untuk menulis jurnal internasional bagi peneliti merupakan hasil kerja minimal (HKM) yang diberlakukan bagi seluruh pejabat fungsional peneliti di seluruh Indonesia. Ketentuan itu bukan dikeluarkan BRIN, melainkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
"Itu bukan kebijakan BRIN, tetapi HKM yang diberlakukan bagi seluruh pejabat fungsional Peneliti di seluruh Indonesia sesuai Permenpan-RB Nomor 34 Tahun 2018 dan Permenpan-RB Nomor 20 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Peneliti," ujar Handoko kepada Republika, Senin (6/2/2023).
Handoko menjelaskan, HKM tersebut berlaku untuk empat tahun. Jika HKM tidak tercapai, maka peneliti masih diberikan kesempatan pada empat tahun kedua.
Pada empat tahun pertama, tidak diberlakukan sanksi. Jika dalam empat tahun kedua tidak juga terpenuhi, maka barulah peneliti itu diberhentikan dari jabatan fungsional peneliti.
"Sesuai Permenpan-RB di atas, HKM ini untuk empat tahun, kalau tidak tercapai masih diberi kesempatan empat tahun kedua, baru setelah itu diberhentikan sebagai Jabatan Fungsional Peneliti," kata dia.
Handoko optimistis para peneliti di BRIN mampu memenuhi HKM itu asalkan mau berkolaborasi dalam melakukan penelitian. Dia menampik adanya persoalan keterabtasan dana dalam melakukan penelitian. Menurut Handoko, saat ini dana tidak diberikan dan dibagi ke semua periset, melainkan diberikan secara kompetitif.
"Tidak ada keterbatasan dana, yang ada adalah dana diberikan secara kompetitif yang bagus proposal dan rekan jejaknya. Jadi tidak diberikan dan dibagi ke semua periset seperti dulu. Skema mobilitas periset dan hibah riset saat ini tersedia lengkap, tetapi harus kompetisi," kata dia.