REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut tidak mempermasalahkan DIY menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa. Pasalnya, data BPS menyebut bahwa tingkat kemiskinan di DIY mencapai 11,49 persen.
"Bagi saya no problem," kata Sultan di Komplek Kepatihan, Yogyakarta, Rabu (25/1/2023).
Menurut Sultan, kemiskinan DIY justru lebih rendah dibandingkan Jawa Tengah (Jateng) jika dilihat dari jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Dari perhitungan persentase 11,49 persen angka kemiskinan dengan jumlah penduduk DIY sebanyak 3,7 juta orang, berarti kata Sultan, jumlah masyarakat miskin di DIY sekitar 400 ribu orang.
"Tapi kalau Jateng sembilan persen, memang (tingkat kemiskinannya) lebih rendah, tapi dikalikannya kan 36 juta (jumlah penduduk Jateng) kan beda. Berarti kalau penduduknya 30 juta saja dikali sembilan (persen), kan 2,7 juta ( jumlah penduduk miskin), jumlahnya kan beda," ujar Sultan.
Menurut Sultan, kemiskinan di DIY merupakan anomali dan tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya di Indonesia. Anomali, tersebut, katanya, tidak menjadi perhitungan atau pertimbangan bagi BPS dalam menentukan tingkat kemiskinan di DIY.
"Berarti ada sesuatu yang sifatnya anomali. Mungkin pola kebijakan (BPS) itu berlaku di seluruh Indonesia, tapi di Yogya yang terjadi seperti itu, tapi kan BPS tidak bisa mengubah hanya untuk DIY," lanjut Sultan.
Sultan mencontohkan, aset yang dimiliki orang miskin tidak didata oleh BPS, misalnya hewan ternak maupun tumbuhan yang dimiliki warga. Hal ini menjadikan jumlah orang miskin di DIY tidak pernah berkurang, karena ada beberapa indikator yang tidak di data BPS.
"Orang miskin tidak pernah habis karena asetnya tidak pernah dihitung," jelas Sultan.
Lebih lanjut, Sultan juga mencontohkan jika konsumsi masyarakat DIY sebesar Rp 480 ribu dan diberikan bantuan Rp 100 ribu, maka harapannya konsumsi masyarakat akan lebih tinggi. Namun, kata Sultan, yang terjadi di lapangan belum tentu bantuan sebesar Rp 100 ribu tersebut dibelanjakan untuk meningkatkan konsumsi oleh masyarakat.
Hal ini menjadikan tingkat konsumsi masyarakat oleh survei BPS pun rendah. Dengan begitu, tingkat kemiskinan yang terdata oleh BPS, yang salah satunya merujuk pada garis kemiskinan makanan di DIY pun menjadi tinggi.
Dari data BPS tercatat bahwa garis kemiskinan makanan di DIY lebih mendominasi dibandingkan garis kemiskinan non makanan. Komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 398.363 atau 72,25 persen, dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 152.979 atau 27,75 persen.
Tidak hanya itu, murahnya harga bahan pangan di DIY juga dinilai menjadi faktor lain tingginya angka kemiskinan. Sebab, kata Sultan, harga tersebut mempengaruhi pengeluaran masyarakat.
"Kalau makan kan murah, implikasinya survei di Pasar Beringharjo untuk konsumsi masyarakat harganya murah," terang Sultan.