REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fluktuasi harga pangan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi prevalensi angka stunting di Indonesia. Head of Agriculture Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta mengatakan fluktuasi harga pangan mempengaruhi konsumsi pangan sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
"Oleh karena itu, menjaga keterjangkauan pangan sangat penting," katanya dalam siaran pers, Selasa (24/1/2023).
Penelitian terbaru CIPS yang berjudul "Policy Barriers to a Healthier Diet: The Case of Trade and Agriculture” menunjukkan, keterjangkauan pangan menentukan status gizi individu. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 menunjukkan, rata-rata biaya makanan bergizi seimbang di Indonesia adalah Rp 22.126 per hari per orang atau Rp 663.791 per bulan per orang.
Berdasarkan biaya makan di 90 kota pada tahun 2021, sekitar 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia tidak mampu membayar jumlah tersebut.
Sementara itu, data WFP juga menyebut, harga makanan seperti beras di Indonesia bisa 50 persen–70 persen lebih mahal dibandingkan harga di negara tetangga.
Food Monitor CIPS juga menyebut harga gula, beras, dan kedelai masing-masing 55,68 persen, 38,36 persen, dan 15,94 persen lebih mahal daripada beberapa harga internasional untuk masing-masing komoditas tersebut sepanjang tahun 2021.
Aditya menambahkan, pandemi Covid-19 semakin menambah beban mereka yang berpenghasilan rendah. Berkurang atau hilangnya penghasilan membuat kecukupan gizi pada konsumsi pangan semakin tidak diprioritaskan.
"Mereka biasanya cenderung memilih pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi yang mengenyangkan tetapi minim nilai gizinya," katanya.
Pasca-pandemi Covid-19 dan kenaikan harga pangan, jumlah orang di dunia yang tidak mampu membeli makanan sehat diperkirakan meningkat sebesar 267,6 juta. Angka stunting diperkirakan akan meningkat untuk pertama kalinya dalam dua dekade, dengan perkiraan 3,6 juta lebih anak yang kemungkinan akan mengalami stunting.
Seperti negara lain, harga pangan di Indonesia naik tajam bersamaan dengan hilangnya pekerjaan akibat pandemi Covid-19, yang memengaruhi kemampuan jutaan orang untuk membeli makanan bergizi. Jutaan keluarga di seluruh dunia terpaksa makan makanan yang lebih murah dan kurang bergizi atau melewatkan makan sama sekali.
Ia menambahkan, sektor pertanian memang sedang menghadapi tantangan-tantangan produksi yang disebabkan perubahan iklim, belum memadainya infrastruktur pendukung pertanian, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, berkurangnya jumlah petani, dan rendahnya produktivitas pertanian.
“Tantangan-tantangan tersebut seharusnya diikuti oleh kebijakan perdagangan pangan yang berorientasi pada kepentingan konsumen, lewat penyederhanaan regulasi impor sehingga bisa memastikan akses masyarakat terhadap pangan sehat dan bergizi yang terjangkau,” ungkapnya.
Penelitian CIPS juga merekomendasikan target keterjangkauan pangan harus menjadi bagian dari RAN-PASTI dan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting.
Kementerian Perdagangan harus dimasukkan dalam rencana untuk meninjau kebijakan dan perangkat perdagangan seperti perizinan dan kuota impor ekspor. Ini termasuk evaluasi mekanisme neraca komoditas, dan menghapus hambatan yang tidak perlu.
Selain itu, sebagai kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab atas ketahanan pangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) harus menjadi anggota Tim Nasional Percepatan Penurunan Stunting untuk menyelaraskan kebijakan mereka dengan tujuan penurunan prevalensi stunting.