REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog keluarga Universitas Airlangga (Unair) Siti Mas'udah menjelaskan, penyebab tingginya angka perceraian sangat kompleks. Namun, kata dia, melihat data dominasi pasangan muda yang bercerai, kebanyakan disebabkan belum adanya kesiapan yang matang secara ekonomi.
Perempuan yang akrab disapa Uud itu menjelaskan, pernikahan dini bisa memutus akses untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. "Akibatnya, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak relatif cukup kecil," ujarnya, Jumat (20/1).
Selain itu, kata dia, usia yang relatif muda juga berpengaruh pada kesiapan mental yang masih labil dalam menghadapi masalah rumah tangga. Akibatnya, ketidaksiapan dan ketidakmampuan menyelesaikan masalah keluarga juga bisa memicu terjadinya perceraian.
"Pilihan menikah oleh pasangan muda bisa saja karena hanya luapan emosi sesaat, romantisme cinta," uajarnya.
Uud juga menyoroti wacana masyarakat daerah pedesaan yang menganggap pernikahan sebagai cara melanjutkan hidup dan menghindari perilaku menyimpang. Apalagi para wanita desa yang sudah memasuki usia matang dan belum menikah akan mendapatkan cap sebagai perawan tua.
Masalah lain yang menurutnya perlu diperhatikan adalah bergesernya makna perceraian di masyarakat sekarang yang tidak lagi dianggap tabu. Hal ini menunjukan adanya perubahan sosial di masyarakat yang awalnya menganggap perceraian sebagai kegagalan dalam pernikahan, menjadi penyelesaian dalam konflik rumah tangga.