REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar media sosial Ismail Fahmi menilai, konten pornografi masih merajai konten negatif di internet dan masih mudah diakses oleh masyarakat, termasuk generasi Z. Karena itu, menurut dia, selain melakukan pemblokiran situs-situs pornografi, pemerintah juga harus memberikan edukasi kepada gen Z.
“Memang pornografi ini paling merajai, paling banyak, dan misalnya di twitter, twitter itu banyak sekali,” ujar Ismail saat dihubungi Republika, Ahad (15/1/2023).
Dia mengakui bahwa Kominfo telah banyak melakukan pemblokiran situs-situs yang memuat pornografi. Namun, menurut dia, masih jauh lebih banyak lagi yang belum terblokir. “Gak akan bisa mengejar intinya kalau pendekatannya blokir. Mungkin ada mengurangi, tapi sedikit. Jadi blokir harus terus dilakukan, edukasi juga harus dilakukan,” ucap Ismail.
“Jadi apakah pemerintah sudah melakukan semuanya? Saya kira belum semuanya dilakukan, terutama dari sisi edukasi,” imbuhnya.
Menurut dia, konten-konten pornografi di Twitter masih sangat mudah diakses dan pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa. Menurut dia, pemerintah juga tidak mungkin memblokir twitternya langsung. Karena, twitter juga memiliki manfaat yang besar.
“Karena twitter gak bisa diblokir, dan kita juga pendekatannya tidak blokir-blokiran, akibatnya ya mudah diakses. Media sosial lain juga banyak konten negatif seperti itu, dan itu gak banyak yang bisa kita lakukan. Makanya pendekatannya kan harus dengan edukasi tadi, yang harus menyeluruh,” ucapnya.
Pada prinsipnya, menurut dia, konten pornografi di internet itu tidak mungkin diblokir sama sekali. Karena, kata dia, cara mengakses dan sumbernya sangat banyak. “Jadi yang paling penting sebetulnya lewat edukasi, yaitu lewat pendidikan. Misalnya kerjasama antara Kominfo dengan Kemendikbud dan juga dengan orang tua,” kata Ismail.
Pendiri Drone Emprit ini menambahkan, pemerintah harus menggunakan pendekatan edukasi untuk menyelamatkan generasi muda dari konten-konten pornografi. Misalnya, di sekolah-sekolah mulai diajarkan kepada siswa konten mana yang sehat dan konten mana yang tidak sehat.
“Dan memang berat itu, terutama kalau dilihat dari Indonesia pakah itu bisa diaajrkan, itu tantangan juga,” jelasnya.