Kamis 05 Jan 2023 13:48 WIB

Empat Persoalan Pengupahan di Perppu Cipta Kerja Menurut Buruh

Formula kenaikan upah minimum di Perppu Cipta Kerja dinilai semakin tidak jelas.

Massa yang tergabung dari berbagai elemen buruh saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, pada Desember 2022 lalu. Kalangan buruh menilai formulasi pengupahan di Perppu Cipta Kerja semakin tidak jelas. (ilustrasi)
Foto:

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengatakan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya. Menurut dia, substansi ketenagakerjaan diatur dalam UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis," kata Menaker Ida, Rabu (4/1/2023). 

Ia mengatakan, substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam perppu ini adalah ketentuan alih daya atau outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam perppu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi. 

“Dengan adanya pengaturan ini, tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui peraturan pemerintah," kata Ida. 

Ida menambahkan, Perppu Cipta Kerja juga merupakan penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Diketahui, upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Nantinya, formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam PP.

Pada perppu juga ditegaskan gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Tak hanya itu, gubernur juga dapat menetapkan UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi dari pada UMP. 

“Kata 'dapat' yang dimaksud dalam perppu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK, apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP," kata Menaker Ida.

Selanjutnya, terkait penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih. Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

"Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan," kata dia.

Menaker menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah, antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta. Bersamaan dengan itu, telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen. 

"Berdasarkan hal-hal tersebut, pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh, dan juga keberlangsungan usaha," kata Menaker Ida menegaskan.

 

 

 

photo
UU Cipta Kerja masih butuh aturan turunan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement