Kamis 05 Jan 2023 13:48 WIB

Empat Persoalan Pengupahan di Perppu Cipta Kerja Menurut Buruh

Formula kenaikan upah minimum di Perppu Cipta Kerja dinilai semakin tidak jelas.

Massa yang tergabung dari berbagai elemen buruh saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, pada Desember 2022 lalu. Kalangan buruh menilai formulasi pengupahan di Perppu Cipta Kerja semakin tidak jelas. (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Dian Fath Risalah

Partai Buruh menyoroti sejumlah pasal yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Terkait dengan pengaturan soal upah minimum, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, melihat ada empat persoalan.

Baca Juga

"Di dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal yang menyebutkan, gubernur dapat menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sementara di dalam perppu, pasal ini tidak diubah, artinya masih sama dengan sebelumnya," kata Said lewat keterangannya, Kamis (5/1/2023).

Menurut dia, dengan menggunakan kata 'dapat', maka artinya UMK bisa ditetapkan dan bisa juga tidak. Karena itu, Partai Buruh meminta kata 'dapat' tersebut untuk dihapuskan sehingga bunyi di dalam perppu menjadi, 'Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota'.

Kemudian, soal pasal yang mengatur formula kenaikan upah minimum. Dia menjelaskan, di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, pasal kenaikan upah minimum berdasarkan survei kebutuhan hidup layak.

Kemudian diubah dalam aturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 formula kenaikannya menjadi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Di mana, kata 'dan' berarti akumulasi dari keduanya.

"Tetapi dalam UU Cipta Kerja menjadi tidak jelas, karena menggunakan formula inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Kata atau, berarti opsional. Hanya dipilih salah satu," ujar Said.

Menurut Said, formula kenaikan upah minimum di Perppu Cipta Kerja menjadi semakin tidak jelas. Sebab, kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel indeks tertentu.

Said mengatakan, indeks tertentu tersebut tidak jelas. Seharusnya cukup berbunyi, 'kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi dan pertumbuhan ekonomi'. Tidak perlu indeks tertentu.

Permasalahan ketiga, yakni adanya pasal baru yang mengatur dalam keadaan ekonomi dan keadaan ketenagakerjaan tertentu, formula kenaikan upah minimum bisa berubah.

"Pasal ini semakin membingungkan, karena bertentangan dengan pasal sebelumnya yang mengatur fomula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu," kata Said.

Said memperkirakan, hal itu dimaksudkan bagi perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah dalam keadaan krisis ekonomi, maka perusahaan yang tidak mampu diperbolehkan tidak menaikkan upah minimum. Karena itu, formulanya akan diubah.

Namun, menurut dia, harus disadari, dalam keadaan krisis pun masih ada juga perusahaan yang mampu membayar kenaikan upah minimum. Karena itu, dia menilai, seharusnya bukan formulanya yang diubah.

"Tetapi ada kebijakan, bagi perusahaan yang benar-benar tidak mampu bisa mengajukan penangguhan, dengan disertai bukti tertulis dalam kondisi merugi dua tahun berturut-turut," kata dia.

Lalu persoalan keempat dalam upah minimum adalah dihapusnya upah minimum sektoral. Dia menyatakan, Partai Buruh tidak setuju upah minimum sektoral dihapus dan meminta agar tetap diberlakukan.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement