REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf punya pendapat pribadi terkait perdebatan soal sistem pemilihan legislatif (Pileg) yang tepat digunakan di Indonesia, antara proporsional terbuka atau tertutup. Menurutnya, sistem proporsional tertutup menjauhkan pemilih dengan calon anggota legislatif (Caleg).
"Pendapat pribadi saya, harap dicatat, bahwa sistem proporsional tertutup itu secara teoretis mengurangi hak langsung dari pemilih. Karena tidak bisa memilih orang per orang di antara calon-calon yang ada," tutur Gus Yahya saat konferensi pers usai menerima kunjungan pimpinan KPU di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Kendati begitu, Gus Yahya mempersilakan pembuat undang-undang untuk menentukan sistem yang hendak digunakan. Yang penting, kata dia, sistem yang digunakan merupakan buah kesepakatan bersama.
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Siapa calon yang akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai.
Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Pemenang kursi ditentukan oleh perolehan suara tertinggi. Sistem proporsional terbuka ini berlaku sejak Pemilu 2009 hingga kini.
Penggunaan sistem proporsional terbuka itu, yang tertera dalam Pasal 168 UU Pemilu, kini sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat, yang dua di antaranya adalah kader PDIP dan mantan kader Nasdem, meminta agar MK menyatakan sistem proporsional terbuka inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari sebelumnya memprediksi MK bakal mengabulkan gugatan tersebut. Hampir semua partai parlemen menentang keras penerapan sistem proporsional tertutup. Hanya PDIP yang mendukung.