REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menyampaikan hingga saat ini pihaknya belum berpikir untuk menggugat terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Karena, kata Rivanlee, bila sudah berbentuk Perppu hanya akan tinggal menunggu persetujuan DPR saja.
"Ini menjadi ruang bagi DPR untuk mengkaji keberadaan Perppu tersebut," kata Rivanlee saat dikonfirmasi, Selasa (3/1/2023).
Hal senada disampaikan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat. Pihaknya hingga kini belum berniat untuk menggugat Perppu tersebut.
"Kalau pun ada yang menggugat maka gugatan diajukan ke MK," tuturnya.
Kepada Republika, Direktur PSHK UII, Allan Fatchan Gani Wardhana menjelaskan saat ini, satu-satunya harapan untuk membatalkan Perppu Ciptaker adalah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Langkah hukum tersebut bisa dilakukan setelah Perppu dikeluarkan.
Meskipun mengaku ragu, Allan berharap DPR menolak Perppu tersebut. Karena, sesuai perintah putusan MK tahun 2021, UU Cipta Kerja harus diperbaiki terutama proses pembuatannya yang harus melibatkan publik.
"DPR harus menolak Perppu Ciptaker karena Perpu tersebut berasal dari pertimbangan subjektif Presiden. Meskipun saya pun ragu apakah DPR mau menolak karena parlemen sudah dikuasai partai pemerintah," kata Allan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Perppu bisa diuji ke MK untuk menilai apakah kegentingan memaksanya sesuai dgn putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa. Karena, menurutnya Perppu ini adalah bentuk pelecehan terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
"Perintah putusan tersebut kan UU Cipta Kerja harus diperbaiki terutama proses penyusunannya yang harus ada partisipasi publik yang bermakna. Tapi pemerintah ambil jalan pintas, dengan menggunakan dalih kegentingan yang memaksa untuk meminggirkan partisipasi publik," tuturnya.
LBH Jakarta menyatakan sikap mengecam penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022. Menurut LBH Jakarta, penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai tidak dilandasi dengan keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara serta merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan Bagir Manan menyampaikan keadaan genting yang terdapat dalam UUD 1945 adalah suatu keadaan krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak dan kemendesakan.
Kemendesakan ini dapat terjadi apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
"Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship) penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden," tegasnya.
Oleh karenanya, LBH Jakarta mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk menarik kembali PERPPU No. 2 Tahun 2022. Kepada DPR RI, LBH Jakarta meminta untuk tidak menyetujui penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022.
"Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi. Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip-prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia," tegasnya lagi.