REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat mengkritik terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Alasan kedarudaratan dan keadaan memaksa yang dinyatakan pemerintah dinilai tak terpenuhi dalam penerbitan suatu perppu.
"Ihwal keadaan darurat, mendesak dan memaksa, kami juga melihat hal itu tidak terpenuhi. Benar, itu hak subjektif Presiden menilainya. Namun Presiden sendiri dalam banyak kesempatan menyatakan keadaan kita baik-baik saja. Ini tentu bertolak belakang dengan syarat-syarat keluarnya Perppu," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon lewat keterangan tertulisnya, Ahad (1/1/2023).
Penilaian subjektif presiden bukanlah titah yang serta-merta harus jadi hukum. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat, yang membutuhkan perbaikan.
"DPR harusnya menolak Perppu ini dan patuh pada putusan MK untuk diperbaiki. Jikapun tidak, karena dominannya kursi blok pemerintah di parlemen, kami Partai Demokrat melalui fraksi di DPR akan menolak ini," ujar Jansen.
"Oleh MK, UU Ciptaker ini telah dinyatakan cacat formil. Harusnya diperbaiki, bukan malah diterabas dengan mengeluarkan Perppu karena merasa punya hak dan kuasa untuk itu," sambungnya menegaskan.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Desember.
"Pagi hari ini tadi kami sudah berkonsultasi dipanggil bapak Presiden dan diminta untuk mengumumkan terkait penetapan pemerintah untuk Perppu tentang Cipta Kerja," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Airlangga menjelaskan, Presiden telah membahas penerbitan Perppu ini bersama Ketua DPR. Penerbitan Perppu Cipta Kerja ini berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU7/2009.
Salah satu pertimbangan penerbitan Perppu ini, yakni kebutuhan yang mendesak. Pemerintah, kata dia, perlu mempercepat antisipasi kondisi global, baik terkait ekonomi, ancaman resesi global, peningkatan inflasi, serta ancaman stagflasi. Selain itu, lebih dari 30 negara berkembang saat ini juga sudah mengantre di IMF karena kondisi krisis yang dialami.
"Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat real, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraina-Rusia dan konflik lain juga belum selesai dan pemerintah juga menghadapi tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan dan perubahan iklim," jelas dia.