Kamis 29 Dec 2022 22:23 WIB

Komisi II Pertanyakan KPU yang Ungkap Kemungkinan Sistem Proporsional Tertutup

MK diharapkan bersikap netral ketika menerima permintaan JR terhadap UU Pemilu.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ilham Tirta
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung curiga dengan pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari yang menyebut adanya kemungkinan penggunaan sistem proporsional tertutup untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024. Sebab, bak gayung bersambut, Doli telah menerima informasi adanya pihak yang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Apakah Hasyim menjadi bagian yang mendorong pihak yang mengajukan JR tersebut? Atau apakah MK sudah mengambil keputusan yang cuma Hasyim yang tahu," ujar Doli kepada wartawan, Kamis (29/12/2022).

Baca Juga

Jelasnya, perubahan mekanisme Pemilu 2024 dapat dilakukan lewat tiga hal, yakni revisi UU Pemilu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), atau putusan MK. Ia pun berharap MK dapat bersikap netral ketika menerima permintaan judicial review (JR) terhadap UU Pemilu, khususnya terkait sistem proporsional terbuka.

"Saya juga berharap MK juga dapat mengambil posisi yang netral, objektif, dan memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks dan pada pembahasannya dilakukan kajian yang cukup mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup panjang," ujar Doli.

Ia menjelaskan, perubahan mekanisme pemilu akan berpengaruh terhadap pasal lain dalam UU Pemilu. Di samping itu, pembahasannya harus melewati proses kajian dan diskusi yang sangat panjang.

Sebab, UU Pemilu juga berkaitan langsung dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Serta, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

"Antara satu pasal dengan pasal yang lain sangat terkait dan mencerminkan kemajuan sistem politik dan demokrasi kita. Jadi kalaupun mau dirubah, harus melalui revisi UU yang harus dilakukan kembali lagi kajian yang serius, karena itu akan menyangkut masa depan sistem politik dan demokrasi Indonesia," ujar Doli.

Di samping itu, misal MK mengabulkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka, hal tersebut hanya akan menimbulkan kerumitan baru. Hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Pemilu 2024.

"Hukum Pemilu kita seperti tambal sulam, tidak mencerminkan bangunan sistem politik yang establish dan futuristik. Itu yang harus menjadi dipertimbangkan oleh MK," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.

Sistem proporsional tertutup adalah sistem perwakilan berimbang di mana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat atau calon legislator. Dalam sistem ini, kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik.

Dalam sistem tersebut, masing-masing partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi yang dialokasikan kepada partai tersebut dalam pemilu. Sehingga calon yang menempati urutan tertinggi dalam daftar ini cenderung selalu mendapat kursi di parlemen.

Hasyim sendiri menjelaskan, sistem proporsional tertutup hanya sebatas asumsi berdasarkan adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Pemilu saat ini. Jadi, hal itu bukanlah usulan dari KPU melainkan dari kondisi faktual kepemiluan yang terjadi saat ini.

"Jadi barangkali bagi calon peserta pemilu bisa bersiap-siap dan mengikuti perkembangan jika gugatan tersebut dikabulkan MK," ujar Hasyim.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement