REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyayangkan penyerapan beras yang dilakukan Badan Urusan Logistik (Bulog) cendrung menurun alias rendah. Meski begitu, kata Khudori, penurunan ini kemungkinan besar karena outlet bansos seperti beras miskin dan rastra sudah tak ada. Hal ini disampaikan Khudori dalam webinar Pataka beberapa waktu lalu.
"Dugaan saya adalah bahwa sejak raskin dan rastra tidak ada, outlet penyaluran di hilir itu tidak ada dan tidak pasti," kata Khudori dalam keterangannya, Kamis (29/12/2022).
Ia berkata, ketika masih ada raskin dan rastra, jumlah penyerapan dan pengadaannya dari dalam negeri kira-kira 2,2 juta ton, sekarang itu hanya 900 ribu. "Jadi gak ada separuhnya. Jadi, catatan terpenting di tahun 2022 ini, volume yang diserap Bulog memang lebih kecil," ujarnya.
Apabila penyerapan Bulog dilakukan dalam jumlah besar, tetapi di sisi lain outlet di hilirnya tidak tersedia, menurut dia, maka yang terjadi adalah timbulnya maslah baru. Karena itu, kata Khudori, musim panen tahun ini harus bisa dioptimalkan Bulog dalam melakukan penyerapan. Apalagi dalam masa panen seperti ini kondisi beras biasanya mengalami surplus yang cukup besar.
"Musim panen raya ini musim menyerap bagi Bulog karena di sinilah akan terjadi surplus besar dan biasanya harga agak tertekan. Nah sekarang karena musim paceklik di sinilah sebetulnya konsentrasi kerja Bulog untuk melakukan operasi pasar mengamankan harga di hilir," katanya.
Di sisi lain, kata Khudori, peran Bulog juga harus bisa fokus pada sistem hilir yaitu mengamankan harga di level konsumen. Namun apabila Bulog tetap masuk pada level pasar untuk melakukan penyerapan dan berkompetisi dengan pelaku usaha yang lain maka bukan tidak mungkin harga yang ada saat ini akan semakin tertekan.
"Jadi sebenarnya pengambilan stok dari penggilingan dan pedagang itu sangat memungkinkan karena berdasarkan data Bapanas di minggu ketiga November stoknya 6,5 juta ton. Yang tidak memungkinkan itu pengambilan stok dari rumah tangga," katanya.
Sejak awal, kata Khudori, perdebatan perlu tidaknya impor beras bisa diselesaikan melalui penyerapan stok beras di penggilingan. Apalagi saat itu, Dirjen Tanaman Pangan menjelaskan ada sekitar 350-360 ribu ton di penggilingan.
"Tapi itu tidak terserap oleh Bulog karena ada dua isu. Isu pertama kualitas dan kedua harga. Jadi kualitasnya itu tidak memenuhi kualitas Bulog dan harganya tidak masuk di harga yang di patok Bulog. Kalau benar ada dua isu dan sebetulnya ada potensi untuk menyerap apakah tidak mungkin dua isu tadi diselesaikan agar Indonesia tidak impor," jelasnya.