REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, DPR dan pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar dalam menyosialisasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah disahkan DPR menjadi undang-undang.Terutama kepada para aparat penegak hukum yang nantinya akan mengimplementasikan pasal-pasal di dalamnya.
"Nah ini penting bagi aparat penegak hukum, bahwa dalam hal membaca KUHP baru kita tidak bisa hanya membaca Buku II nya saja yang yang mengatur soal delik, kita harus membaca keduanya, Buku I," ujar Taufik dalam diskusi daring yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dikutip Senin (12/12).
KUHP sendiri terdiri dari tiga buku, yakni Buku I, Buku II, dan Buku III. Buku I mengatur, mulai dari ruang lingkup berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, pemidanaan, pidana dan tindakan, gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, pengertian istilah, serta ketentuan penutup.
Dalam Buku I antara KUHP lama dengan yang baru, terdapat perubahan sekira 80 persen hingga 90 persen. Pasalnya, hal-hal yang bersifat mendasar dan fundamental terdapat dalam Buku I KUHP.
Adapun Buku II KUHP, mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Antara KUHP lama dengan yang baru disebutnya tak terjadi banyak perubahan.
"Kalau kita benar-benar memahami Buku I, maka aparat penegak hukum ketika nanti melaksanakan Buku II dengan pemahaman baru, mudah-mudahan tidak seperti yang dikhawatirkan," ujar Taufik.
KUHP baru sendiri dinilainya sangat progresif ketimbang KUHP lama yang merupakan produk kolonial. Harapannya, KUHP tersebut juga dapat menghadirkan budaya hukum yang baru kepada para aparat penegak hukum.
"Menurut saya, diharapkan bisa mengubah paradigma dan perspektif aparat penegak hukum untuk menjadi lebih baik lagi. Bahkan bisa juga membangun budaya hukum yang baru, yang kita sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang baru, yaitu pendekatan dengan restoratif, korektif, dan rehabilitatif," ujar politikus Partai Nasdem itu.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, ada empat visi dan misi yang ada dalam KUHP yang baru disahkan oleh DPR menjadi undang-undang. Pertama adalah konsolidasi.
Visi dan misi kedua adalah modernisasi. Ia menjelaskan, bahwa KUHP yang lama sudah berusia lebih dari 200 tahun dan memiliki paradigma sebagai hukum pidana pembalasan. Artinya saat pembuatannya dulu, hukum pidana dijadikan sebagai lex talionis atau sarana balas dendam.
Ketiga adalah harmonisasi. Pemerintah dan DPR mencoba untuk melihat berbagai ketentuan pidana di luar KUHP, yang kemudian diharmonisasi dan sinkronisasi dengan model pemidanaan yang ada dalam KUHP.
Terakhir adalah KUHP yang baru berorientasi kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD), dan juga latar belakang kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sehingga ditegaskannya bahwa KUHP tak bisa dibandingkan dengan hukum pidana negara lainnya.
"Dengan kata lain saya ingin mengatakan, sebetulnya saya tidak perlu risau, saya tidak begitu risau, saya cuek bebek dengan apa namanya yang dikatakan oleh pers asing soal perzinahan. Saya gak ada urusan, karena memang tak bisa dibanding-bandingkan," ujar Eddy.