REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan semua pihak terkait tanggungjawabnya memenuhi perlindungan khusus kepada anak, khususnya anak dari orang tua pelaku teroris, sebagai langkah kontijensi mencegah regenerasi teror di Tanah Air.
"Perlindungan khusus bagi anak-anak pelaku teror dapat dipandang sebagai langkah kontinjensi dalam rangka menjamin hak-hak mereka," kata Reza, Sabtu (10/12/2022).
Sudut pandang ini, kata Reza, bukan untuk menganggap terorisme sebagai hal biasa. Aksi bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar yang mengeggerkan masyarakat, disepakati bahwa terorisme adalah musuh yang harus dilawan bersama. Namun, munculnya narasi 'menangkap istri dan anak-anak' pelaku teror di ruang publik, menimbulkan kerisauan tersendiri.
Ia mengatakan perlindungan khusus terhadap anak dijamin dalam konstitusi, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Amanat dalam undang-undang itu, memandu aparat menggunakan kata memastikan diberikan perlindungan khusus bagi anak-anak, alih-alih menangkapnya.
"Kalau membaca UU 35/2014, alih-alih menggunakan kata 'tangkap', UU justru memandu kita untuk 'memastikan' terberikannya 'perlindungan khusus' bagi anak-anak pelaku teror," katanya.
Menurut dia, anak-anak itu memenuhi dua kategori sebagai penerima perlindungan khusus, yakni selaku anak-anak korban jaringan terorisme dan selaku anak-anak yang mengalami stigma akibat perbuatan orang tuanya.
"Anak itu dari usia nol hingga sebelum 18 tahun. Tidak ada regulasi tentang perlindungan khusus bagi usia setelah anak-anak," katanya menerangkan.
Lalu, kata dia, siapa yang bertanggungjawab memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak tersebut. Sebagaimana amanat undang-undangan, kewajiban dan tanggungjawab itu diemban kepada pemerintah pusat, daerah dan lembaga negara lainnya.
"Jadi, jangan buru-buru diserahkan ke masyarakat. Ada tiga pihak yang hadir lebih dahulu," ujarnya.
Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan (POLTEKIP) itu berpandangan jika perlindungan khusus itu diterapkan secara konsekuen, memungkinkan harapan tidak ada lagi keluarga teroris yang dipersekusi, seperti diusir oleh warga. Sebaliknya, kata dia, ketika perlindungan khusus cuma hidup di kertas, lalu anak-anak pelaku diperlakukan semena-mena, maka hal ini perlu dikhawatirkan.
"Jangan-jangan kita menyediakan pretext (dalih) bagi terjadinya regenerasi teror," ujar Reza.
Merujuk pada teori tentang regenerasi teror dari J. Post. Salah satunya, kata Reza, seseorang menjadi teroris ketika orang tuanya kalah dalam pertarungan melawan penguasa. Lalu, si anak menjadi penerus cita-cita orang tuanya dengan cara melawan penguasa. Teori itu membangun keinsafan bahwa, untuk menangkal terjadinya regenerasi teror, penguasa punya kepentingan untuk membangun relasi positif dengan keluarga pelaku teror.
"Tapi, menurut saya, relasi positif itu jangan melulu dibangun di atas pondasi ketakutan. Pada dasarnya, anak-anak pelaku teror harus dipandang sebagaimana anak-anak lainnya. Mereka punya hak yang sama seperti anak-anak lain, dan seluruh pemenuhan hak itu harus dijamin negara," kata Reza.
Reza melanjutkan, pada titik inilah KPAI semestinya selalu mengingatkan tiga pihak tadi agar tidak berkutat melulu pada penegakan hukum terhadap pelaku dan rehabilitasi korban. Perlindungan khusus bagi anak harus terselenggara.
Reza menambahkan, tidak banyak pihak yang menaruh atensi pada masalah ini. Kemungkinan karena waswas akan dicap sebagai simpatisan teroris jika menyuarakan ihwal perlindungan khusus bagi anak-anak pelaku teror.
"Alhasil, semua pihak memang seharusnya membaca UU secara lebih seksama bahwa asas kepentingan terbaik sama sekali tidak bisa ditanggalkan dari diri anak-anak, termasuk anak-anak pelaku teror sekalipun," kata Reza.