REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Research Centre for Security and Violent Extrimism (RECURE) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Rakyan Adibrata mengatakan tidak yakin aksi teror yang dilakukan Agus Sujatno alias Agus Muslim dilatarbelakangi pengesahan RUU KUHP.
"Tidak juga sih, karena di dalam ideologi ISIS ada pembatalan ke-Islaman. Bagi mereka, prinsip yang ditekankan ialah jangan pernah mengikuti hukum buatan manusia," kata Peneliti senior RECURE SKSG Universitas Indonesia (UI)Rakyan Adibrata saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Hal itu ia sampaikan menyusul beredarnya foto sepeda motor yang diduga milik pelaku yang disertai tulisan "KUHP hukum syirik/kafir, perangi para penegak hukum setan".
Menurut dia, jika aksi teror tersebut dikaitkan dengan KUHP yang baru saja disahkan, maka hal itu hanya salah satu variabel tambahan sehingga pelaku semakin tersulut emosinya dan akhirnya melakukan bom bunuh diri. "Tapi apakah spesifik KUHP itu yang kemudian membuat dia melakukan aksi teror, ya tidaklah. Itu hanya variabel tambahan saja," jelasnya.
Adibrata menjelaskan mengacu pada undang-undang, maka ujung tombak pencegahan radikalisme dan terorisme terletak di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
BNPT adalah pihak yang melaksanakan program deradikalisasi dan kontra radikalisme. Kontra radikalisme ditujukan agar mencegah orang tidak radikal. Sementara, deradikalisasi adalah upaya mengurangi bahkan menghilangkan paparan orang yang sudah termasuk radikal menjadi tidak radikal.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah orang-orang yang dulunya mantan narapidana terorisme ketika bebas tetap masih terlibat aksi terorisme. Jika dalihnya yang bersangkutan menolak mengikuti deradikalisasi, maka seyogianya harus ada program deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan yang dilakukan pemerintah.
"Termasuk monitoring dan evaluasi terhadap orang-orang yang menolak program deradikalisasi," kata dia.
Khusus untuk kepolisian, ia memberikan masukan agar Polri didorong lebih maksimal menjadi mitra kerja BNPT dalam pencegahan terorisme di Indonesia. Apalagi, BNPT tidak memiliki kapabilitas pengawasan intensif terhadap eks narapidana yang jumlahnya mencapai ratusan orang.
Ia menyebutkan sekitar lima persen dari ratusan eks narapidana terorisme tersebut masih memungkinkan kembali melakukan kejahatan yang sama atau residivis.