Ahad 27 Nov 2022 17:34 WIB

Ajak Partisipasi Masyarakat, Tim Sosialisasi RKUHP Harap Aspirasi Terus Tertampung

Sejauh ini, sosialisasi RKUHP rutin dilakukan untuk mengedukasi masyarakat.

Kegiatan sosialisasi RKUHP dalam upaya menampung aspirasi masyarakat.
Foto: Dok. Web
Kegiatan sosialisasi RKUHP dalam upaya menampung aspirasi masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara (Jubir) Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries angkat bicara menanggapi adanya kritik dari sebagian publik tentang Rancangan KUHP yang dinilai tidak partisipatif dan tidak demokratis karena tidak mendengarkan aspirasi publik. "Tidak benar jika dikatakan bahwa penyelesaian pembahasan RKUHP tidak partisipatif dan bermakna, sebab cukup banyak masukan dan aspirasi masyarakat sipil yang sudah diakomodosi perumus RKUHP “ ujar Albert, Sabtu (26/11/2022). 

“Misalnya penghapusan kata “dapat” dalam penjatuhan pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat alternatif kemudian reformulasi pasal penodaan agama yang telah disesuaikan dengan konvensi hak sipil dan politik (ICCPR), serta pencabutan pasal 27 ayat 1 dan 3 serta pasal 28 ayat 2 UU ITE dari ketentuan sektoralnya,“ ujarnya menambahkan.

Baca Juga

“Bukankah itu adalah masukan dan aspirasi masyarakat sipil dan para aktifis," lanjut Albert.

Albert meminta agar jangan mengartikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam penyusunan UU sebagai penerimaan penuh atas seluruh masukan/usulan yang diberikan, apalagi memaksakan pendapat yang sesungguhnya bukan merupakan ciri berdemokrasi.

“Penyesuaian sanksi pidana atas tindak pidana pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Bab Tindak Pidana Khusus di RKUHP sudah dihitung dan diukur secara objektif berdasarkan modified delphi method dan hanya mengambil  core crimes dari UU Sektoralnya,“ kata Albert.

Albert pun menegaskan mengenai tindak pidana pengembangan atau penyebaran komunisme, marxisme-leninisme yang sudah ada sejak dahulu dalam UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP berkaitan dengan kejahatan keamanan negara. Pasal-pasal tersebut, masih kata dia, tidak pernah dibatalkan oleh MK dan memiliki pengecualian bagi yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan. 

Selanjutnya, pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat diri Presiden/wapres dan juga Pasal 240 RKUHP tentang Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara (sudah dimerger dengan Pasal 347 RKUHP). Semuanya, kata dia, sudah diberikan uraian penjelasan yang cukup untuk dapat membedakan mana kritik dan delik (penghinaan).

 “Sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berdemokrasi, serta mengadopsi ketentuan pasal 6 huruf d UU No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu kritik, saran, koreksi yang berkaitan dengan kepentingan umum,“ kata Albert.

Sejauh ini, sosialisasi RKUHP rutin dilakukan untuk mengedukasi masyarakat. Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan, mengatakan, ini adalah upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat.

Ia berharap acara Sosialisasi RUU KUHP ini dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RUU KUHP kepada elemen-elemen publik secara luas.

“Semoga acara-acara ini membawa manfaat yang besar dan positif bagi kita, masyarakat, dan negara. Mari kita dukung KUHP buatan Bangsa Indonesia,” kata dia seperti dilansir dari Antara.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement