REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesepakatan The Bangkok Goals for the Bio – Circular Green Economy dinilai bisa menjadi pendorong bagi industri perumahan di Tanah Air semakin hijau. Kesepakatan yang dibuat dalam Forum Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Bangkok imi merupakan suatu pendekatan bersama mengenai pemulihan ekonomi pascapandemi yang inklusif dan berimbang, guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tangguh serta menjaga lingkungan hidup.
“Kesepakatan The Bangkok Goals for the Bio – Circular Green Economy seharusnya mendorong pengembang di Tanah Air tak sekadar berpacu menyediakan hunian, namun turut serta memudahkan penghuni dalam menjalankan aktivitasnya secara efektif, efisien dan hemat energi,” kata CEO PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), John Riady, di Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Pentingnya keberlanjutan dalam menjalankan bisnis memang sudah harus diperhatikan oleh para pelaku bisnis yang memerhatikan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Terlebih ini menjadi cetak biru untuk mencapai masa depan lebih baik dan berkelanjutan pada tahun 2030.
“Dalam hal ini pengembang memiliki tanggung jawab yang tidak kecil mengingat studi yang telah banyak dilakukan menunjukkan industri properti ternyata tanpa disadari menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar,” ujar John.
Berdasarkan kajian Jones Lang LaSalle disebutkan perusahaan finansial dan profesional dalam bidang real estate di 32 kota di dunia menyumbang rata-rata 60 persen dari keseluruhan emisi karbon. Hal ini disebabkan oleh bahan bangunan yang berupa beton, yang dapat menghasilkan emisi karbondioksida terbesar ketiga di dunia.
Selain itu pada produksi semen memberikan pengaruh sebesar tujuh persen terhadap karbon dioksida secara global, yang setara dengan tiga kali lipat emisi yang dihasilkan oleh industri penerbangan. Oleh karena itu, langkah yang sedang dilakukan oleh pemerintah di dunia pada sektor real estate adalah mengampanyekan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada bangunan (green building) yang memenuhi syarat-syarat dalam SDGs.
John menyatakan satu kontribusi utama LPKR terhadap langkah pembangunan keberlanjutan dan ESG melalui pembangunan perumahan dengan tata kelola lingkungan yang baik. Dalam hal hunian, perseroan menciptakan rumah ramah lingkungan dan dengan harga terjangkau didukung lingkungan yang hijau.
Konsep hijau yang dimaksudkan tidak sekadar memberikan luasan yang cukup bagi ruang hijau yang memperbaiki iklim mikro. Namun, ujar John, juga mencakup pengelolaan air limpasan air hujan maupun limbah dari hunian sehingga menjadi cadangan air bagi lingkungan perumahan dengan baku mutu yang baik.
Hal ini sejalan dengan visi perseroan sebagai salah satu perusahaan pertama dari Asia Tenggara yang menandatangani World Economic Forum (WEF) inisiatif Stakeholder Capitalism Metrics (SCM) bersama dengan lebih dari 100 perusahaan internasional kelas dunia lainnya yang berorientasi kepada Principle of Governance, Planet, People dan Prosperity.
The Bangkok Goals for the Bio – Circular Green Economy dalam KTT APEC 2022 dinilai juga menunjukkan urgensi penerapan pemberian insentif bagi pengembang yang mewujudkan konsep green building. Insentif diberikan secara fiskal maupun struktural.
Menurut John, insentif fiskal diberikan melalui berbagai keringanan dalam pajak, bantuan tunai, dan pemberian subsidi. Insentif struktural diberikan melalui berbagai bantuan dalam bentuk bantuan marketing, label bangunan hijau, dan konsultasi.
“Salah satu insentif fiskal dapat dilihat melalui aspek perpajakan. Insentif tersebut sudah diterapkan di berbagai negara seperti Malaysia, Italia, dan India. Di Indonesia, ini belum dilakukan. Jika dilakukan, akan menjadi pendorong pengembang mengadopsi prinsip hijau,” pungkasnya.
Kehadiran insentif ini sangat penting bagi pelaku industri properti, terlebih lagi di negara berkembang dengan tingkat permintaan hunian yang tinggi. Visi pembangunan properti ramah lingkungan tak menghambat pelaku industri menyediakan kebutuhan perumahan yang masih cukup besar seperti di Indonesia.