REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menilai politik identitas yang sempit amat berbahaya bila terus digulirkan ke publik karena bisa memicu konflik horisontal.
"Politik identitas yang sempit bisa memecah belah. Itu tidak boleh dibiarkan, karena itu mengancam persatuan bangsa dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Konflik horisontal lebih sulit diatasi dibandingkan konflik vertikal," kata Emrus Sihombing di Jakarta, Selasa (22/11).
Emrus mengatakan sebenarnya politik identitas sah saja ketika pesan yang disampaikan seperti saling menghargai suku dan budaya atau nilai-nilai seni yang luhur, mengangkat keagungan Tuhan Yang Maha Esa, atau mengenai menghormati apa pun agama yang dianut. Menurut Emrus yang berbahaya adalah ketika politik identitas mengatakan ke pola yang sempit, saat komunikasi politik di ruang publik dimanfaatkan untuk merendahkan kepercayaan, suku, atau budaya tertentu.
Kemudian, lanjut Emrus konflik horisontal merupakan pertikaian antarsesama kelas sosial tertentu, misalnya, satu suku dengan suku lain, satu agama dengan agama lain. Sedangkan konflik vertikal melibatkan kelas sosial yang tinggi dan rendah."Kalau Indonesia konflik, negara lain yang menikmati. Pembangunan tidak akan berjalan," ucap Emrus.
Emrus merespons pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Munas ke-17 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Jokowi mengimbau kepada kontestan pemilu agar tidak menggunakan politik identitas dan isu SARA.Jokowi mengajak kontestan mengedepankan ide dan gagasan. Menurut presiden bangsa ini sudah merasakan cukup lama dampak dari politik identitas.
"Tidak kali pertama Pak Jokowi mengatakan itu, apa yang dikatakan Presiden sangat betul. Capres dan cawapres harus adu ide dan gagasan, jauhkan politik identitas yang sempit atas dasar SARA," tutur Emrus.
Emrus mengatakan seluruh ketua partai harus menghormati sikap Presiden Jokowi dengan tegas menyampaikan ke ruang publik menolak politik identitas yang sempit dan isu SARA. Kandidat dalam pemilu harus fokus pada program pembangunan. "Mengangkat politik identitas yang sempit dan isu SARA sama saja menunjukkan calon tidak punya program, sesungguhnya mereka lemah. Partai politik harus punya komitmen politik semacam perjanjian dengan kandidat bahwa politik identitas yang sempit itu tidak boleh," ujar Emrus.