Jumat 18 Nov 2022 18:03 WIB

Muhammadiyah di Luar Pusaran Politik

kader Muhammadiyah serasa menjadi tumpukan daun kering di politik

Ketua Panitia Pemilihan Muktamar ke-48 Muhammadiyah, Dahlan Rais menyampaikan hasil pemungutan suara dengan e voting saat Sidang Pleno Tanwir Muhammadiyah di Auditorium Muhammad Djazman, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (18/11/2022). Pada sidang pleno ini peserta memilih 39 nama dari 92 nama calon anggota PP Muhammadiyah. Selanjutnya dari 39 nama ini akan dibawa ke Muktamar untuk dipilih menjadi 13 nama calon anggota PP Muhammadiyah.
Foto:

Jihad Konstitusi

PP Muhammadiyah sudah menyatakan penolakan sejak UU tentang Rumah Sakit tersebut digodok oleh DPR. Namun, penolakan itu tidak mendapat dukungan politik. Tidak ada politisi di Senayan yang mau membantu kepentingan Muhammadiyah. Politik Senayan sudah dikuasai oleh fikiran political resentment terhadap eksistensi pelayanan kesehatan  Muhammadiyah. Tidak ada pilihan lain, akhirnya Muhammadiyah harus melakukan jihad konstitusi dengan jalan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Beruntung gugatan  yang diajukan Muhammadiyah dikabulkan MK yang waktu itu dipimpin Hamdan Zoelva. MK menegaskan bahwa  Pasal 7 ayat ( 4) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum bersifat nirlaba. Dengan keputusan MK ini, sebagai organisasi nirlaba, Muhammadiyah menjadi berhak mengelola Rumah Sakit.

Banyak Rancangan Undang-undang (RUU) yang meniscayakan Muhammadiyah harus peduli politik undang-undang. Misalnya, sempat muncul gagasan memasukkan pendidikan sebagai obyek pajak progresif yang kapitalistik melalu RUU yang diusulkan pemerintah berupa Revisi UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 

Saat ini saja pajak terhadap sejumlah belanja barang, seperti belanja alat-alat laboratorium pendidikan dirasa sudah berat oleh pendidikan swasta. Bisa dibayangkan jika dikenakan PPN pendidikan yang kapitalistik itu, tentu sangat memberatkan pendidikan negeri dan apalagi swasta.

Ada juga RUU yang meniscayakan Muhammadiyah perlu mengawal politik undang-undang. Mendikbudristek mengajukan revisi UU  No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Muhammadiyah termasuk organisasi keagamaan yang mengelola ribuan Madrasah. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka. Tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya draft RUU Sisdiknas itu yang menghapus frasa Madrasah. Masyarakat pun dibikin gaduh.  Setelah gaduh frasa Madrasah itu kemudian dimasukkan dalam draft yang diajukan ke DPR. 

Yang pasti, posisi saat ini sejumlah fraksi menyatakan menolak usulan pemerintah untuk merevisi UU Sisdiknas. Seperti diketahui usul pemerintah yang disiapkan Mendikbudristek itu tetap ditolak untuk dimasukkan dalam daftar RUU Prioritas 2022/2023 karena dinilai mengandung sejumlah kelemahan, baik prosedural maupun substansial.

Bagaimana ending dari posisi Madrasah dalam UU tentu masih tergantung siapa yang dominan dalam mengolah Revisi UU Sisdiknas itu nanti.

Di luar Pusaran Politik

Reformasi yang menutup lembaran sejarah politik tertutup dan monolitik, digantikan dengan lembaran politik baru yang terbuka dan pluralistik, sebenarnya berhasil memunculkan kecenderungan baru di kalangan kader persyerikatan Muhammadiyah. Muncul syahwat baru untuk ambil bagian dalam proses politik. 

Namun, rupanya syahwat politik itu tidak sebesar yang digambarkan. Salah satu sebabnya karena hingga saat ini di lapisan elite Muhammadiyah pusat maupun daerah masih didominasi paradigma pemikiran political disengagement - mengambil jarak untuk tidak mengatakan lepas tangan dari politik. Pandangan bahwa politik itu kotor masih sangat kental.

Akhirnya tidak seperti ketika mengurus amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan kemanusiaan lainnya, dalam urusan politik tidak tergambar sebagai sebuah persyerikatan. Dalam politik lebih terasa sebagai sebuah kerumunan - berhimpun tetapi masing-masing buka lapak sendiri-sendiri. 

Dampaknya kader Muhammadiyah serasa menjadi tumpukan daun kering yang ditiup angin. Bertabur kemana-mana, kemudian jatuh di tempat yang tidak jelas. Lalu tidak banyak kader yang berada di lingkaran kekuasaan di negeri ini. 

Oleh karena tak banyak kader Muhammadiyah yang memegang portofolio dalam politik kekuasaan - baik legislatif maupun eksekutif di negeri ini, maka saya memaklumi ketika ada yang mengeritik judul buku saya yang diterbitkan Hikmah Press (2017), "Muhammadiyah dalam Pusaran Politik." Pengeritik itu mengatakan yang lebih tepat  judul buku saya itu adalah "Muhammadiyah di luar Pusaran Politik." Wallahu a'lam bishawab.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement