Selasa 15 Nov 2022 18:07 WIB

Dakwaan Penggelapan Dana Santunan dan Alasan Bos ACT tak Ajukan Keberatan

Tiga mantan petinggi Aksi Cepat Tanggap hari ini jalani sidang perdana di PN Jaksel.

Ketua Majelis Hakim Hariyadi dan terdakwa mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin (dalam pantulan layar) saat menjalani sidang pembacaan dakwaan yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (15/11/2022). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan terkait perkara dugaan penggelapan dana bantuan Boeing oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan terdakwa mantan Presiden ACT Ahyudin. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Selanjutnya pada 25 Januari 2021, atas kesepakatan 189 keluarga ahli waris korban JT 610 dengan Yayasan ACT tersebut, pihak Boeing mencairkan dana BCIF tersebut. Dikatakan dakwaan, pencarian dilakukan dengan memindahbubukan dana BCIF kepada Yayasan ACT setotal Rp 138,54 miliar melalui empat rekening terpisah.  

Selanjutnya dikatakan dalam dakwaan, untuk merealisasikan penyaluran dana BCIF tersebut, Yayasan ACT melakukan penawaran terbuka kepada sejumlah badan usaha konstruksi. Tujuannya untuk pembangunan 68 fasilitas pendidikan yang sudah disiapkan sebagai penerima manfaat dari dana pencairan BCIF.

Akan tetapi, di dalam dakwaan dikatakan jaksa, penerimaan dana manfaat tersebut tak sesuai dengan proposal Yayasan ACT yang sudah disepakati dengan 189 ahli waris korban JT 610, pun yang sudah disetujui pihak BCIF. Disebutkan realisasi pembangunan fasilitas pendidikan tercatat hanya 66 lokasi.

Pun terungkap di dalam dakwaan, Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang realisasikan Yayasan ACT, tak sesuai dengan nominal. Semula 68 pembangunan fasilitas pendidikan penerima dana manfaat BCIF masing-masing rata teralokasi Rp 2,037 miliar.

Namun dari masing-masing kegiatan pembangunan terdapat selisih dari nominal alokasi. Mengacu dakwaan, rata-rata pembangunan fasilitas pendidikan, hanya terealisasi antara Rp 1,3 sampai Rp 1,5 miliar.

"Bahwa terdakwa Ahyudin, bersama-sama terdakwa Hariyana binti Hermain, dan terdakwa Ibnu Hajar mengetahui penggunaan dana BCIF harus sesuai dengan peruntukkannya sebagai tertulis dalam kesepakatan ahli waris dan pihak BCIF,” kata jaksa.

Dikatakan jaksa dalam dakwaan, juga terungkap dari hasil laporan akuntan independen Agustus 2022, realisasi penerima manfaat Rp 138,5 miliar dana BCIF tersebut hanya sebesar Rp 20,56 miliar. Sedangkan selebihnya Rp 117,98 miliar, disebutkan jaksa digunakan oleh Yayasan ACT, untuk membiayai kegiatan, dan operasional, serta penggajian para pengurus, termasuk karyawannya sendiri.

Juga terungkap dalam dakwaan, dana BCIF untuk penerima manfaat tersebut, disalahgunakan dalam kegiatan lain di luar kesepakatan dengan ahli waris korban JT 610, dan Boeing.

“Bahwa untuk proses pencairan dana di luar implementasi dana BCIF dari Boeing tersebut dilakukan oleh terdakwa Ahyudin selaku Presiden GIP  (Global Islamic Philantrophy), dengan cara memberikan instruksi kepada terdakwa Hariyan binti Hermain selaku Vice President GIP, dan sepengetahuan terdakwa Ibnu Khajar selaku Presiden ACT,” begitu dikatakan dakwaan.

 

Padahal dikatakan jaksa, para terdakwa mengetahui dana BCIF tersebut tak dapat dialokasikan ke dalam kegiatan-kegiatan di luar proposal. Pun dilarang digunakan untuk kepentingan, juga operasional yayasan pihak ketiga sebagai pengelola.

Tak ajukan eksepsi

Tim kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penggelapan dana Boeing Community Investment Fund (BCIF) senilai 25 juta dolar AS yang juga mantan Presiden ACT Ahyudin, Irfan Junaedi mengatakan tidak mengajukan keberatan atas dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kliennya. 

"Kita tidak mengajukan keberatan atas dakwaan dari JPU dan kita nanti langsung ke pembuktian dan saksi-saksi," kata kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penggelapan dana yang juga mantan Presiden ACT Ahyudin, Irfan Junaedi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.

Irfan mengatakan, sejak awal atau proses di Bareskrim Mabes Polri banyak dugaan tindak pidana yang ditujukan kepada mantan Presiden ACT tersebut. Namun, dalam sidang perdana kliennya hanya dikenakan Pasal 374 dan Pasal 372 KUHP.

Terkait Ahyudin yang hadir secara virtual, Irfan mengatakan hal itu sepenuhnya kewenangan JPU. Namun, pada sidang berikutnya ia berharap kliennya bisa dihadirkan secara langsung di hadapan hakim. 

Selain Ahyudin, dua orang pimpinan ACT juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. Keduanya ialah Ibnu Khajar dan Hariyana.

Irfan menerangkan alasan kliennya tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas surat dakwaan JPU. Alasan pertama, karena menurut Irfan, agar proses persidangannya cepat dan kliennya segera divonis.

Apabila kliennya, Ahyudin, terbukti bersalah, kata Irfan, yang bersangkutan siap menjalani vonis yang seadil-adilnya oleh majelis hakim.  Kendati demikian, tim kuasa hukum mantan Presiden ACT tersebut akan berusaha membuktikan kepada majelis hakim melalui agenda pemeriksaan saksi-saksi.

"Pada saat itu klien kami yang notabenebukan sebagai pembina atau pengurus di Yayasan ACT," ujar dia.

 

In Picture: Klarifikasi Aksi Cepat Tanggap (ACT)

 

photo
Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar (kanan) didampingi Anggota Dewan Pembina Yayasan ACT Bobby Herwibowo (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung ACT, Menara 165, Jakarta, Senin (4/7/2022). Dalam konferensi pers tersebut Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan permintaan maaf kepada donatur dan masyarakat Indonesia sekaligus melakukan klarifikasi terkait pemberitaan dalam majalah Tempo dengan judul Kantong Bocor Dana Umat edisi Sabtu 2 Juli 2022. - (Republika/Thoudy Badai)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement