Kamis 03 Nov 2022 20:16 WIB

IFA 2022, Mitigasi Filantropi

IFA 2022 laksana mitigasi atas tsunami filantropi.

Iqbal Setyarso, Mantan Vice President Aksi Cepat Tanggap/ACT
Foto:

IFI, Karya Kemanusiaan

Kembali pada pelibatan saya pada evengt IFA ini. Saya mencerna kategori yang dinilai untuk IFA 2022 --semakin kaya, semakin kompleks; bukan hanya lembaga zakat, juga lembaga wakaf, media massa pro filantropi, korporat pro filantropi, inisiatif masyarakat berupa movement, bahkan Indonesia Corrupttion Watch (ICW) juga dinilai.

Publik melihat pada satu sisi, ada kesungguhan memberi penilaian; pada sisi yang lain ada kompleksitas yang harus ditimbang juga. Saya terlibat dalam proses penjurian, sejak 24 Oktober – 11 November 2022, secara online (via zoom). Hampir setiap hari –kecuali akhir pekan—para juri melakukan penjurian, perhari dua sampai empat lembaga filantropi harus kami nilai. Spektrumnya cukup luas, tak cuma lembaga zakat, dari 40 lembaga sosial ada: ICW, Baitul Wakaf, juga Gerak Bareng/GB Jakarta.

Ada pula dari daerah (non Jakarta), seperti: LAZ Nurul Hayat yang berpusat di Surabaya, LAZ Al-Hilal yang berpusat di Bandung. Pun, katagorinya beragam: Fundraising Digital, Fundraising Pendidikan, Fundraising Sosial, Fundraising Internasional, dan lain-lain. Pengalaman baru bagi saya, dengan ranah yang makin kekinian dari sisi tema dan strategi pendekatan.

Dalam penilaian IFA 2022, ada lima aspek yang dinilai: 1. Cara Presentasi; 2. Permasalahan & penyelesaian; 3. Pertumbuhan Fundraising; 4. Inovasi yang dilakukan; 5. Dampak Keberhasilan. Ya, kandidat IFA itu dinilai oleh tujuh orang juri independen. Kami anggota juri, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mereka.

Menyimak keragaman core competence lembaga-lembaga itu, membuat saya berpikir, lembaga ini menstimulir dua hal: pertama, mengelorakan kebaikan untuk bangsa ini; kedua, mengedukasi lembaga filantropi dan publik untuk faham, tingkat keterukuran lembaga filantropi itu sendiri. Secara eksplisit evaluasi independen yang dirangkai awarding memberi asupan informasi dan preferensi tentang lembaga filantropi yang terbaik di Indonesia.

Peran “polisi filantropi” dimainkan oleh IFI/Institut Fundraising Indonesia menjadi “polisi tanpa hak menghukum”. Ikhtiar awarding itu menjadi koridor sekaligus keterukuran filantropi, hal yang tidak dilakukan oleh regulator formal. Dimasukkannya Indonesia Corruption Watch atau ICW, misalnya, menjadikan ICW dinilai dan distimulir untuk berbenah. Secara senyap, tanpa kampanye, awarding itu memiliki mandat publik sebagai kekuatan yang legitimate secara sosial.

Tatkala saya kabarkan kerekrutan saya pada seorang kawan, ia pun membalas seraya mengatakan sebuah nasihat guru atau ustadznya dan titip pesan untuk saya, ”Semua organisasi, entah mau bisnis dan dakwah, sehebat apapun programnya, harus sumber utamanya dekat dengan masjid. Sedekat apa lembaga itu dengan sumber kesalihannya.”

Kawan saya itu menambahkan, “Tapi ada juga organisasi yang berbasis masjid, tapi kurang perform pada level eksekusi korporasinya…. Ya memang masih banyak PR lembaga umat,” katanya. Tentang hal ini saya juga berpikir, untuk lembaga seperti ICW ini, memang tidak harus dekat masjid.

Saya berpikir, masjid benar menjadi sebagai semangat, ruh! Bukan “masjid secara fisik” tetapi secara ruhani, “kemasjidan itu menjiwai”. Kesalihan adalah ruh, bukan fisiknya yang harus dekat. Pikiran dan perasaan yang “sadar kesalihan dan terpaut dengan masjid” lebih penting ketimbang secara fisik “dekat dengan masjid”.

Setiap saat, kesalihan membimbing pegiat filantropi untuk menolong sesama. Menjadikan aktivitas filantropi sebagai habbit, kebiasaan. Secara gradual masyarakat filantropi meresonansi semangat kedermawanan sebagai gaya hidup.

Dari pembicaraan dengan salah satu nominator, Nurul Hayat – yang berkantor pusat di Surabaya, salah seorang humasnya mengatakan, ”Kecepatan lebih baik ketimbang kesempurnaan.”

Hal itu dikatakan dalam konteks upaya memberikan pertolongan darurat dan kebencanaan. Pernyataan itu mengingatkan saya pada aktivitas lembaga filantropi yang pernah saya ikuti dulu. Dulu, saya pernah menikmati aksi kemanusiaan, ketika ditugaskan ke kawasan terpapar bencana. Jadi, saya terlibat dalam penyaluran bantuan untuk penyintas bencana.

Konstatasi itu membuat saya memberi cetak tebal pada aspek yang penting dalam aktivitas filantropi, selain transparan, independen, kreatif, kesegeraan hal signifikan untuk didahulukan ketimbang lainnya. Transparan, memang penting, tapi tak boleh tidak –harus segera; independensi, menyegerakan, menolong yang penting, namun tidak boleh lelet; kerja kreatif memang penting, tetapi urgent untuk segera menolong!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement