Kamis 03 Nov 2022 14:40 WIB

Investigasi KNKT Atas SJ-182: Gangguan Sistem Mekanikal

Dalam penerbangan itu, auto-throttle tidak bisa menggerakkan thrust lever yang kanan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Petugas mengangkut kotak yang berisi Cockpit Voice Recorder (CVR) Sriwijaya Air SJ-182 di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (31/3). CVR pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh perairan Kepulauan Seribu itu ditemukan pada Selasa (30/3) malam pukul 20.00 WIB di dasar lumpur laut menggunakan alat TSHD King Arthur 8. Selanjutnya CVR tersebut diserahkan kepada KNKT untuk diteliti lebih lanjut. Republika/Putra M. Akbar (Ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas mengangkut kotak yang berisi Cockpit Voice Recorder (CVR) Sriwijaya Air SJ-182 di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (31/3). CVR pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh perairan Kepulauan Seribu itu ditemukan pada Selasa (30/3) malam pukul 20.00 WIB di dasar lumpur laut menggunakan alat TSHD King Arthur 8. Selanjutnya CVR tersebut diserahkan kepada KNKT untuk diteliti lebih lanjut. Republika/Putra M. Akbar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nurcahyo Utomo memaparkan hasil investigasi atas kecelakaan pesawat Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ-182. Hasil investigasi tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR.

Dia menjelaskan, pesawat berjenis Boeing 737 itu lepas landas dari Pontianak menuju Jakarta pada 9 Januari 2021. Setelah terbang sekira 13 menit, pesawat mengalami kecelakaan dan berakhir di perairan Kepulauan Seribu.

"Pada penerbangan itu kita lihat bahwa dari hasil flight data recorder yang sudah kita unduh, pada saat climbing terjadi perubahan mode auto pilot dari yang semulanya menggunakan manajemen komputer berpindah menggunakan mode control panel. Perubahan ini tampaknya membutuhkan tenaga mesin lebih sedikit," ujar Nurcahyo, Kamis (3/11).

Apabila menggunakan tenaga lebih sedikit, normalnya auto-throttle akan menggerakkan kedua thrust lever untuk mundur untuk mengurangi tenaga mesin. Namun, dalam penerbangan tersebut, auto-throttle tidak bisa menggerakkan thrust lever yang kanan.

"Ada tujuh komponen terkait auto-throttle yang kami periksa di Amerika dan Inggris. Kami yakini bahwa gangguan yang terjadi pada thrust lever pada sebelah kanan ini adalah gangguan pada sistem mekanikal, bukan sistem komputernya," ujar Nurcahyo.

Hal tersebut menjadikan thrust lever sebelah kiri mengurangi tenaga mesin untuk mengkompensasi kebutuhan tenaga mesin sesuai permintaan autopilot, yang akhirnya menimbulkan perbedaan di  kiri dan kanan. Perbedaan ini disebut dengan asimetri.

Padatnya lalu lintas udara saat itu, pesawat tersebut diminta oleh air traffic controller (ATC) untuk berhenti di ketinggian 11 ribu kaki. Menjelang ketinggian 11 ribu kaki, tenaga mesin akan semakin berkurang karena sudah mencapai ketinggian yang diperintahkan.

"Karena thrust lever sebelah kanan tidak bergerak, maka thrust lever sebelah kiri terus mengurangi tenaganya sehingga perbedaan mesin sebelah kiri dan kanan semakin besar," ujar Nurcahyo.

Meski thrust lever sebelah kanan tidak bergerak, Boeing 737 dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM). Sistem itu bisa menonaktifkan auto-throttle jika terjadi asimetri, untuk mencegah perbedaan tenaga mesin lebih besar.

Auto-throttle nonaktif 30 detik saat mencapai ketinggian tersebut, yang berasal dari fungsi sistem CTSM. Keterlambatan fungsi CTSM ini diyakini karena informasi dari flight spoiler yang memberikan nilai sudut pembukaan yang lebih tinggi atau rendah dari seharusnya.

"Sehingga komputer memberikan sensor yang berbeda dan informasi sudut ini diyakini penyetelan atau rigging dari flight spoiler," ujar Nurcahyo.

Jelang ketinggian 11 ribu kaki, pesawat yang tadinya sedang berbelok ke kanan karena perubahan posisi thrust lever sebelah kiri, menghasilkan tenaga mesin yang makin berkurang. Akhirnya pesawat menjadi datar, tidak bergerak, tidak berbelok, yang akhirnya berbelok ke kiri.

Perubahan tersebut tidak disadari oleh pilot, yang diasumsikan oleh KNKT bahwa pilot sudah percaya dengan sistem otomatisasi pesawat tersebut. Dalam kondisi kemudi miring ke kanan, sementara pesawat miring ke kiri, membuat terjadinya peringatan kemiringan berlebihan dari 35 derajat.

"Sehingga perbedaan asumsi karena kurangnya monitor tadi berakibat pada upaya pemulihan yang dilakukan pilot tidak sesuai. Flight data recorder mencatat bahwa 4 detik pertama pemulihan yang dilakukan adalah membelokkan pesawat ke kiri," ujar Nurcahyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement