Ahad 30 Oct 2022 07:50 WIB

IAI tak akan Represif Awasi Penjualan Obat Sirup yang Dilarang di 1.200 Apotek 

Saat ini apotek di Kota Bandung sudah patuh dengan edaran Kemenkes dan IAI.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Ketua Pengurus Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Bandung Yena R Iskandar, memberikan cenderamata pada Wali Kota Bandung Yana Mulayan di acara Seminar dan Konfercab IAI Kota Bandung 2022  di Hotel Horison, Kota Bandung Sabtu (29/10).
Foto: Istimewa
Ketua Pengurus Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Bandung Yena R Iskandar, memberikan cenderamata pada Wali Kota Bandung Yana Mulayan di acara Seminar dan Konfercab IAI Kota Bandung 2022  di Hotel Horison, Kota Bandung Sabtu (29/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah mulai menyebarkan informasi mengenai larangan menjual obat sirup setelah banyaknya kasus gangguan ginjal akut pada anak. Menurut Ketua Pengurus Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Bandung Yena R Iskandar, pihaknya dan Dinas Kesehatan Kota Bandung terus menyebarkan luaskan informasi daftar obat yang dilarang tersebut ke 1.200 apotek dan 2.747 apoteker di Kota Bandung.

Selaih itu, menurut Yena, IAI Kota Bandung pun bersama-sama Dinas Kesehatan, Balai POM dan kepolisian mengawasi peredaran obat yang dilarang untuk dikonsumsi saat ini. "Polisi, dinas kesehatan, Balai POM, dan organisasi IAI memberikan pengawasan tapi bukan yang sifatnya represif. Kami tak mengambil barangnya atau apanya tapi kami lakukan pembinaan dan pengawasan," ujar Yena usai Seminar dan Konfercab IAI Kota Bandung 2022  di Hotel Horison, Kota Bandung Sabtu (29/10).

Berdasarkan pemantauan IAI, kata dia, saat ini apotek di Kota Bandung sudah patuh dengan edaran Kementerian Kesehatan maupun IAI. Mereka tidak akan menjual obat-obatan yang diduga memicu gangguan ginjal akut pada anak.

Apalagi, kata Yena, saat ini, masyarakat cerdas dan kritis dapat informasi terkait obat-obatan sirup yang diduga memicu gangguan ginjal akut. "Itu yang membuat masyarakat juga akhirnya pasti tidak akan mencari obat tersebut," katanya.

Saat ini, kata Yena, hanya ada tiga macam obat yang tidak boleh, karena yang lainnya masih dalam pengujian. Selain itu, BPOM telah menerbitkan 133 obat yang dihentikan sementara penjualannya.

Yena menjelaskan, untuk ketiga obat yang dilarang itu, industri farmasinya pun siap untuk menarik atau meretur produk-produk tersebut untuk diganti. "Jadi tidak ada alasan apoteker yang ada di sarana pelayanan untuk menyimpan obat tersebut karena akan diganti dan tidak akan dicari oleh konsumen," katanya.

Penggantian, kata dia, akan dilakukan pada pusat distribusi bukan langsung ke apotek. Untuk diketahui Apoteker sendiri ada di distribusi dan sarana pelayanan. 

"Distribusi ini yang akan nanti mengkoordinir jadi tidak langsung diserahkan pada universal begitu tapi pada perusahaan distribusi farmasi, seperti itu rantainya," katanya.

Yena pun menyarankan, agar masyarakat cermat dalam memilih obat yang harus sesuai dengan indikasinya. Kemudian harus membaca aturan penggunaan dan meminum obat sesuai dengan dosis.

"Dan yang ingin saya sampaikan jangan mendengar berita-berita hoax yang malah nantinya membuat bingung," kata Yena seraya meminta masyarakat untuk lebih berhati-hati dengan cara mencari informasi langsung datang ke Apotek.

Di tempat yang sama, Ketua Panitia Pelaksana Seminar dan Konfercab IAI Kota Bandung 2022, Caesar Isai Bonanza Sito mengatakan, selain melakukan pemilihan ketua yang baru, pada Konfercab tersebut digelar seminar tentang perkembangan teknologi Farmasi, penyelenggara untuk sarana elektronik farmasi.

Tema tersebut diangkat, kata dia, karena para apoteker harus dilengkapi dengan pengetahuan mengenai penyelenggaraan sistem elektronik farmasi ini. "Kan nantinya dengan berkembangnya teknologi semua akan menuju ke sana sehingga tidak ada lagi yang manual dan semuanya berlangsung secara elektronik atau online," katanya.

Saat ini, kata dia, apotek yang menyelenggarakan sistem elektronik itu belum banyak. Karena peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait penyelenggara sistem elektronik farmasi persyaratannya cukup banyak.

"Jadi mungkin para apoteker atau pengusaha apotek yang berpikir untuk ke sana," katanya.

Sementara menurut Wali Kota Bandung, Yana Mulyana yang hadir pada seminar sekaligus konfercab IAI Kota Bandung, Pemeritah Kota Bandung tengah mengupayakan agar semua Puskesmas di Kota Bandung memiliki apoteker. Sebab, peran apoteker dinilai sangat penting dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat. 

Menurutnya, dari 81 Puskesmas yang ada di Kota Bandung, sebanyak 62 puskesmas telah memiliki tenaga kesehatan apoteker. "Dari 81 puskesmas di Kota Bandung, ada 62 puskesmas yang punya tenaga kesehatan apoteker. Mudah-mudahan bisa dibantu pengadaan sisanya di 19 puskesmas lagi," katanya.

Kata dia, dengan kehadiran apoteker di seluruh puskesmas Kota Bandung bisa memberikan kebutuhan obat yang tepat untuk masyarakat. "Apoteker bisa memberikan obat yang baik dan tepat untuk masyarakat. Fungsi itu hanya bisa dilakukan oleh para apoteker," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement