REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hardi adalah salah satu legenda maestro lukis Indonesia yang masih tersisa. Dia kini hidup sendirian ditemani anaknya di rumahnya yang berada di pojok barat selatan Jakarta. Isteri tercinta baru saja meninggal sekitar dua pekan silam.
Namun, bagi kalangan 'generasi Z' atau generasi masa kini, sosok Hardi memang tak mereka kenal. Apalagi baru generasi muda yang 'ke Korea-Korean'. Sosok Hardi jauh dari angan mereka yang lebih dikuasi fantasi luar negeri dan berjarak dengan politik.
Tapi bagi Hardi ketika muda tidak seperti itu. Kalau sekarang generasi Z terkaget-kaget dengan pernyataan punggawa grup band laris 'Dewa 19' yang akan menjadi presiden pada tahun 2039, Hardi malah sudah melakukannya ketika masih berusia sangat muda dan melawan arus yang sangat deras kala itu, yakni melakukan deklarasi sebagai Presiden di tahun 2021.
Baca juga : Uniknya Gitar Bambu Buatan Para Maestro Kota Bogor
''Iya, waktu itu, yakni pada tahun 1979 masyarakat Indonesia heboh. Ada anak muda yang pameran lukisan dengan memasang foto dirinya, dengan tulisan Presiden 2001. Tempat pameran lukisan saya itu digelar di Taman Ismail Marzuki. Hasilnya saya ketika pembukaan saya langsung ditangkap aparat laksus (aparat keamanan khusus ketertiban). Saya ditahan selama tiga hari. Saya kemudian dibebaskan atas permintaan Wapres Adam Malik karena bertetapan dengan peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM). Pak Adam memang luar bisa membela saya,'' kata Hardi dirumahnya, di Jakarta Barat, Rabu malam (27/10/2022).
Pameran lukisan dengan poster itu membahana ke publik. Kala aparat datang menggrebek tempat pameran.Bahkan, pada awalnya hendak membakar semua lukisan bertajuk 'Presiden 2021'. Namun keinginan itu dilawannya. Akhirnya, setelah negoisasi aparat Laksus melunak. Mereka hanya membakar lima lukisan saja.
''Saya kala itu melawan ketika karya lukis saya akan diangkut mereka untuk dibakar. Saya katakan bakar boleh, tapi bayar. Akhirnya, setelah tawar menawar mereka akhirnya hanya membawa lima lukisan saja. Dan mereka pun mengalah dengan mau membayar lukisan itu sebelum dibawa, yaitu satu lukisan harus dibayar Rp 25.OOO. Ini jumlah uang yang lumayan berharga saat itu. Jangan dibandingkan dengan sekarang, sebab kala itu kurs dolar dibanding rupiah masih sangat murah,'' ungkap Hardi.
Hardi menceritakan, bila proses pembuatan lukisannya dengan baju lengkap seorang presiden dan menyatakan diri sebagai presiden 2001, dilakukan di tempat tinggalnya yang kala itu serumah dengan legenda budayawan WS Renda di kawasan Slipi. Menurut dia rumahnya sangat sederhana namun penuh semangat karena menjadi tempat berkreasi para awak Bengkel Teater.
Baca juga : Meski Tiga Partai Belum Sepakat, AHY Ngaku Siap Jadi Cawapres Anies
''Lukisan saya pakai model cetakan (printing). Yang mencetak adalah seorang pegawai Taman Ismail Marzuki (TIM) yang bisa bikin poster di sana. Saya cetak 25 buah dengan biaya Rp 1.000 per lembar. Nah, dari 25 lukisan itu, lima buah sudah diangkut dan di bakar petugas Laksus. Yang sisanya 20 buah terjual untuk di koleksi berbagai tokoh penting. Ini uniknya, lukisan itu jadi koleksi berbagai museum di dalam dan luar negeri. Saya sekarang cuma tinggal dua. Yang terakhir di beli Galeri Nasional (Galnas) dengan harga Rp 25 juta per buah. Ini rejeki anak sholeh,'' kata Hardi sembari tertawa lepas.
Mengenai siapa tokoh yang mengkoleksi lukisan 'Hardi Calon Presiden 2001', Hardi mengatakan tak ingat detailnya karena begitu banyak. Tapi rata-rata tokoh politik dan aktivis HAM.''Salah satunya adalah pakar terorisme dari Amerika Serikat, Sydney Jones. Bahkan, di kantornya di New York dia mengatakan lukisan saya sebagai calon presiden 2001 di pajang di dinding kantornya. Saya kaget ketika dengan ceritanya.".