REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merekomendasikan kepada Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub larangan sementara penggunaan klakson tambahan atau 'telolet'. Pelarang sebagai dampak investigasi penyebab kecelakaan truk trailer tangki Pertamina pada 18 Juli 2022 di Jalan Transyogi Cibubur.
Plt Kepala Sub Komite Investigasi Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT Ahmad Wildan mengatakan, pemasangan klakson telolet sangat berbahaya jika sopir tidak memahami penggunaan angin sehingga menyebabkan kegagalan rem.
"Jadi membahayakannya gini. Dia membunyikan agar kencang dia pakai tenaga angin. Anginnya ngambil dari tabung angin untuk ngerem. Jadi ada kebocoran di klakson telolet, itu semua angin dari tabung akan keluar dari sana semua jadi nggak bisa ngerem akhirnya," kata Wildan saat ditemui di Gedung KNKT, Selasa (18/10/2022).
Wildan menuturkan, instalasi klakson tambahan mengambil sumber daya tenaga pneumatic dari tabung udara sistem rem. Untuk itu KNKT meminta Kemenhub dapat melarang sementara penggunaan klakson 'telolet'. Secara bersamaan juga sambil merumuskan kebijakan teknis yang tepat untuk emenuhi kebutuhan klakson pada kendaraan besar di Indonesia yang memiliki karakteristik tersendiri.
Dia menambahkan, kebijakan untuk menghilangkan penggunaan klakson tambahan berada di tanah Kemenhub. "Makanya saya kembalikan ke Ditjen Perhubungan Darat. Kalau teknologi gampang, tambahin saja kompresor lalu tabung angin maka selesai. Klakson telolet bisa jalan dan juga aman buat rem," jelas Wildan.
Terlebih menurut Wildan, penggunaan klakson telolet sudah marak digunakan di Indonesia. Khususnya penggunaan klakson tambahan yang sering digunakan oleh kendaraan besar.
Wildan juga meminta Kemenhub dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap ketentuan penggunaan klakson. "Ini baik melalui pengujian kendaraan bermotor maupun pembinaan kepada Asosiasi transportir kendaraan barang dan penumpang," ujar Wildan.
Sebelumnya, KNKT mengungkapkan kecelakaan truk tersebut diakibatkan adanya kegagalan rem. Kegagalan pengereman tersebut terjadi karena persediaan udara tekan di tabung berada di bawah ambang batas. Kondisi tersebut menurutnya membuat truk tidak cukup kuat untuk melakukan pengereman.