REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti Islam di Betawi dan Jakarta
Di Ahad (16/10/2022), berakhir sudah kepemimpinan Anies Rasyid Baswedan, sebagai Gubernur DKI Jakarta. Perpisahan dengan warga yang dipimpinannya dihadiri begitu meriah oleh ribuan warga yang menyemut, bak melepas seorang pahlawan. Pahlawan yang telah banyak mengisi ruang publik, ruang warganya dan ruang harapan para pendukungnya untuk Jakarta yang lebih baik: Maju Kotanya, Bahagia Warganya.
Terlepas dari masalah politik, terlepas dari plus minus prestasi dan kinerjanya sebagai gubernur, secara obyektif, Anies Baswedan telah mewariskan berbagai ide dan gagasan yang dititipkan di berbagai lembaga di Jakarta untuk diteruskan dan dilaksanakan oleh gubernur DKI Jakarta yang baru agar Jakarta masuk dalam bentang peradaban dunia, sejajar dengan berbagai kota berperadaban maju kelas dunia, salah satunya yang dia amanahkan sebagai warisan tersebut di Jakarta Islamic Centre (JIC).
Di acara pengukuhan pengurus JIC pada Selasa (16/11/2021), dalam sambutannya, Anies Baswedan sebagai gubernur mengamanahkan agar pengurus JIC yang baru dapat menghadirkan JIC dalam bentangan peraradaban dunia yang berdiri sejajar dalam membangun peradaban Islam, terlebih ketika saat ini peradaban Barat sedang menunjukkan ‘kejatuhannya’ (downfall).
Dikarenakan, dalam kajian JIC tentang peradaban Islam dan Barat yang merujuk kepada pemikiran Prof Herman Soewardi dan Prof Azyumardi Azra, CBE, Islam bukan hanya agama, tetapi juga peradaban (civilization). Sebagai peradaban, Islam telah banyak memberikan kontribusi terhadap umat manusia dalam aspek materil (hadharah) dan imateril (tsaqabah).
Dan sebagai ajaran agama, Islam sudah sempurna, selalu abadi pada ketinggian dan keluhurannya. Namun sebagai peradaban, seperti peradaban-peradaban lain, yang merupakan hasil cipta dan karsa umatnya, peradaban islam mengalami pasang surut, yang diistilahkan oleh Prof Herman Soewardi dalam bukunya yang berjudul Roda Berputar, Dunia Bergulir: Kognisi Baru tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi (2001) seperti roda yang berputar.
Dalam tesisnya, Prof Herman Soewardi menyatakan bahwa peradaban Islam pernah mengalami masa kejayaan bukan selama 5 abad, tetapi selama 7 abad, yaitu abad ke-7 sampai dengan abad ke-13. Kemudian digantikan dengan kejayaan peradaban Barat selama 7 abad juga, yaitu abad ke-14 sampai dengan abad ke-20. Sedangkan kejadian tergelincirnya peradaban Islam dimulai pada abad ke-9 dan kebangkitan peradaban Barat terjadi pada abad ke-16 juga terjadi selama 7 abad.
Menurut analisis dan keyakinan Prof Herman Soewardi, ketika dia menulis bukunya tersebut, bahwa kejayaan peradaban Barat saat ini mulai merosot (decline) dan peradaban Islam mulai terlihat bangkit kembali di awal abad ke-21. Umat Islam akan menjadi “well-equipped” untuk memimpin dunia dan seluruh jagat raya. Dengan kata lain, abad ke-21 akan kembali menjadi abad perabadan Islam.
Yang memiliki analisis dan keyakinan seperti ini bukan hanya Prof Herman Soewardi saja. Prof Azyumardi Azra, CBE dalam paparan makalahnya di JIC pada tahun 2010 yang berjudul Kebangkitan Peradaban Islam Nusantara: Peluang di Tengah Kemerosotan Peradaban Barat juga menyatakan bahwa wacana tentang ‘kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization) bukan sesuatu yang baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler pada usia 38 tahun menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; jilid pertama diterbitkan pada 1918 dan jilid kedua pada 1922.
Dalam buku ini dia melacak asal usul dan perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa. Dia berargumen lebih lanjut, bahwa kemunduran peradaban Barat bahkan sudah bermula sejak abad 20.
Dalam pandangan Azyumardi Azra, secara kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis, dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak, tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain, termasuk khususnya Dunia Muslim. Meski terdapat negara-negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Bahkan sampai sekarang ini, umumnya negara-negara Muslim/Islam di Timur Tengah, sejak dari Mesir, Arab Saudi, Irak sampai negara-negara Teluk, hampir sepenuhnya tergantung kepada AS dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Situasi ini relatif berbeda dengan Indonesia yang tidak memiliki ketergantungan apa-apa pada AS-meski hegemoni ekonomi dan politik AS sulit dihindari rejim penguasa Indonesia.
Amanah H Anies Baswedan dan hasil kajian JIC tersebut di atas kemudian menjadi timbangan manajemen strategi JIC yang merekomendasikan agar JIC menjadi simpul persatuan umat, pusat diskusi ilmiah lintas disiplin, pusat riset peradaban Islam dunia dan pusat aktivitas kerjas-kerja peradaban untuk merespon realitas yang terjadi hari ini, yaitu ketika negara-negara di Eropa dan AS sedang konflik, berperang, dengan Rusia dan sekutunya yang menyebabkan krisis muliti dimensi di negara-negara Barat. Realitas ini tentu memperkuat tesis tentang ‘kejatuhan’ (downfall) peradaban Barat dan mulainya kemunculan kembali kejayaan peradaban Islam, utamanya dari Indonesia, seperti roda yang berputar. Semoga Gubernur DKI Jakarta pengganti H. Anies Baswedan dapat memperkuat posisi JIC dalam bentang peradaban dunia saat ini dengan segala realitasnya yang sedang terjadi.