Ahad 16 Oct 2022 00:20 WIB

RUU Daerah Kepulauan Dorong Pemerataan Pembangunan

Sudah 17 tahun daerah provinsi kepulauan memperjuangkan RUU ini.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Satria K Yudha
Sejumlah kapal penumpang antarkepulauan melintas di kawasan perairan Pelabuhan Telaga Punggur, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Sabtu (10/9/2022). Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan berharap pemerintah dan DPR segera membahas RUU Daerah Kepulauan.
Foto: ANTARA/Teguh Prihatna
Sejumlah kapal penumpang antarkepulauan melintas di kawasan perairan Pelabuhan Telaga Punggur, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Sabtu (10/9/2022). Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan berharap pemerintah dan DPR segera membahas RUU Daerah Kepulauan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan atau RUU Daerah Kepulauan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 di DPR. Namun, hingga kuartal terakhir tahun ini belum terdengar tindak lanjut untuk membahas rancangan undang-undang tersebut.

 

RUU Daerah Kepulauan dinilai penting untuk segera dibahas dan disahkan karena dapat mendorong pemerataan pembangunan. RUU ini merupakan usulan atau inisiatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sudah masuk parlemen sejak 2015, setelah sebelumnya berubah nama dari RUU Provinsi Kepulauan. 

 

Ketua Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan Ali Mazi mengatakan, tantangan dalam pengelolaan daerah kepulauan, antara lain, mendorong pembangunan di gugusan pulau, mengintensifkan konektivitas penduduk yang bermukim di gugusan pulau, dan penanganan laut yang umumnya 70-80 persen dari luas wilayah keseluruhan. Ali mengatakan, sudah 17 tahun daerah provinsi kepulauan memperjuangkan RUU ini.

 

“Kami tidak meminta otonomi daerah, melainkan perlakuan yang sama antara daerah kepulauan dengan daerah berciri daratan,” kata Gubernur Sulawesi Tenggara itu dalam siaran pers, Sabtu (15/10/2022).

 

Ali menjelaskan, daerah kepulauan di Indonesia meliputi Daerah Tingkat I, yaitu Provinsi Maluku, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Ada pula Daerah Tingkat II, di antaranya,Kota Batam, Bima, Ambon, Natuna, Biak Numfor, dan lainnya.

 

“Negara harus hadir untuk menopang kehidupan rakyat yang tinggal di gugusan pulau,” ujar dia.

 

Dia mencontohkan, pembagian Dana Alokasi Umum atau (DAU) dari pemerintah pusat dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk. Sementara faktanya, daerah berciri kepulauan memiliki perairan yang lebih luas ketimbang daratan dan jumlah penduduk lebih sedikit yang tersebar di pulau-pulau. Kalau air pasang, berkurang pula luas daratan.

 

Sementara untuk mengelola wilayah laut, menurut Ali, pemerintah pusat sudah mengatur bahwa tidak ada lagi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan mengelola wilayah laut 0-12 mil dari garis pantai berada di tingkat provinsi, dan selebihnya dipegang oleh pemerintah pusat. 

 

Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Aspeksindo) Rokhmin Dahuri mengatakan, mahalnya ongkos distribusi dan biaya transportasi merupakan salah satu dampak dari kondisi daerah berciri kepulauan dibandingkan dengan daerah berciri daratan. Hingga kini, menurut dia, biaya logistik dan transportasi di Indonesia menjadi yang tertinggi, yakni sekitar 25 persen. Padahal di negara lain, angkanya kurang dari 15 persen.

 

“Daerah kepulauan akan terus melarat kalau anggaran hanya dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan luas daratan,” katanya. 

 

Rokhmin mengatakan, akibat dari disparitas pembangunan yang jomplang itu, Pulau Jawa menopang 58 persen perekonomian nasional, padahal luasnya hanya 15 persen dari total wilayah Indonesia. Sementara daerah lain yang luasnya 85 persen, hanya berkontribusi sebesar 19,5 untuk perekonomian nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement