Kamis 13 Oct 2022 03:01 WIB

Kenaikan Cukai Rokok Dikhawatirkan Picu Gelombang PHK

Jatim adalah provinsi dengan produksi tembakau terbesar di Indonesia.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Indira Rezkisari
Petani memanen daun tembakau di Desa Tatung, Balong, Ponorogo, Jawa Timur. Rencana pemerintah menaikkan cukai tembakat dikhawatirkan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Foto: ANTARA/Siswowidodo
Petani memanen daun tembakau di Desa Tatung, Balong, Ponorogo, Jawa Timur. Rencana pemerintah menaikkan cukai tembakat dikhawatirkan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menghawatirkan terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika pemerintah benar-benar menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2023. Adik pun meminta pemerintah untuk kembali melihat dan memikirkan dampak yang terjadi sebelum kebijakan tersebut benar-benar diputuskan.

"Saya khawatir akan terjadi gelombang PHK. Karena tahun depan adalah tahun gelap, tahun politik. Jika ada kenaikan cukai, pasti akan mengerek inflasi. Dan ketika inflasi naik maka ujung-ujungnya daya beli semakin turun sehingga produksi juga akan turun," kata Adik, Rabu (12/10/2022).

Baca Juga

Adik mengingatkan, kontribusi industri tembakau sangat besar terhadap perekonomian nasional. Baik dari besaran cukai yang telah disetorkan dalam setiap tahun, maupun banyaknya tenaga kerja di industri terkait. Adik mengaku telah berkirim surat ke Presiden Jokowi meminta kenaikan cukai di 2023 nol persen untuk menjaga kestabilan ekonomi.

"Kami sangat berkepentingan karena Jatim adalah provinsi dengan produksi tembakau terbesar di Indonesia. Industri hasil tembakau di sini juga sangat banyak, dan tenaga kerja yang terkait dengan pertembakauan ini mencapai jutaan tenaga kerja. Mulai dari petani hingga pekerja di industri hasil tembakau," ujarnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim, Sulami Bahar menyebut, industri sudah tidak kuat lagi menanggung besarnya cukai yang dibebankan pemerintah. Ia menyatakan, ketika telah melebihi batas kemampuan, maka pastinya akan terjadi rasionalisasi besar-besaran. Artinya, kata dia, dampaknya nanti akan terjadi penurunan produksi hingga PHK.

"Awal kita akan mengurangi jam kerja, kalau sudah tidak sanggup ya larinya ke PHK. Dan kami prediksi yang kena PHK bisa sampai 30 persen dari total karyawan. Sehingga kami minta tidak ada kenaikan cukai, tidak ada simplifikasi tarif cukai, baik untuk tarif cukai SKT golongan IA dan IB, tidak ada penggabungan volume produksi antara SKM dan SPM," ujar Sulami.

Sulami melanjutkan, jika pemerintah ngotot dan tetap harus menaikkan cukai, ia menyarankan pemerintah seimbang dengan memperhatikan industri hasil tembakau. Artinya, kata dia, kenaikan harus moderat, maksimal sekitar 6-7 persen. Karena dengan kenaikan sebesar 12 persen di 2022, produksi rokok golongan 1 sudah mengalami penurunan sebesar 7 persen.

"Kami sudah mengirim surat ke Gubernur Jatim, ke Badan Kebijakan Fiskal, ke Presiden, dan Menteri Keuangan. Kami juga sudah rapat dengan BKF dan Bea Cukai. Semua sudah kami lakukan, tinggal hati nurai terketuk apa tidak," kata Sulami.

Ia mengingatkan, kenaikan cukai juga mendorong kenaikan peredaran rokok ilegal. Penelitian Universutas Brawijaya Malang menunjukkan, kenaikan cukai 1 persen berbanding lurus dengan pertumbuhan 6,8 persen rokok ilegal dan minus 0,4 persen produksi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement