REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menilai perlunya kajian dan evaluasi terkait demokrasi yang diterapkan saat ini. Salah satunya dalam pilkada, baik untuk bupati, wali kota, hingga gubernur.
Wakil Ketua MPR Yandri Susanto mengatakan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengusulkan pilkada dipilih oleh DPR atau DPRD. Saat itu, ia merupakan bagian dari panitia kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
"Tapi Pak SBY pulang dari luar negeri kan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014, dari Perppu itu lahirlah tetap pemilu langsung, pilkada langsung. Lahirlah Undang Undang Nomor 10 tahun 2016," ujar Yandri di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/10/2022).
"Mempertegas bahwa tidak ada perubahan," sambungnya.
Menurutnya, pemilihan kepada daerah oleh DPR dan DPRD perlu dikaji kembali. Pasalnya, ada sistem demokrasi saat ini yang membuat biaya politik menjadi tinggi dan berdampak pada lahirnya tindakan korupsi.
"Disertasi Pak Gamawan (Fauzi, mantan menteri Dalam Negeri) tentang perlunya kembali ke sistem pemilihan (oleh) DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Jadi menurut kami ini yang perlu dikaji, jangan sampai membuat UUD berdasarkan kepentingan, itu tidak boleh," ujar Yandri.
MPR sendiri menggelar pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Usai pertemuan tersebut, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengaku saat ini perlu adanya kajian terkait demokrasi Indonesia sekarang.
"Kita sepakat demokrasi pascademokrasi perlu kita kaji. Apa sistem yang kita pilih hari ini lebih banyak manfaat atau mudarat," ujar Bamsoet.
Ia menyoroti adanya kaitan antara demokrasi dengan korupsi yang marak terjadi saat ini. Selorohnya, lima periode Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak bisa mengatasinya jika evaluasi tak dilakukan.
MPR, jelas Bamoset, terus melakukan kajian terkait persoalan bangsa yang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi yang diterapkan saat ini, yang juga menjadi mekanisme dari pemilihan umum (pemilu).
"Jadi kita persilakan nanti DPR untuk mengkajinya kembali. Apakah sistem pemilu yang hari ini kita jalankan, lebih banyak manfaatnya atau justru lebih banyak mudaratnya," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.