Senin 03 Oct 2022 15:38 WIB

Kasus Kanjuruhan, Polisi Dinilai Gagal Ayomi Masyarakat

Ada masalah besar dalam bidang profesionalisme jajaran Polri.

Profesionalisme Polri dipertanyakan terkait penanganan rusuh suporter di Stadion Kanjuruhan, Malang. Foto seorang penggemar sepak bola memasuki lapangan saat petugas polisi berjaga-jaga selama kerusuhan setelah pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, 01 Oktober 2022 (dikeluarkan pada 02 Oktober 2022). Sedikitnya 127 orang termasuk polisi tewas setelah suporter sepak bola Indonesia memasuki lapangan yang menyebabkan kepanikan dan injak-injak.
Foto: EPA-EFE/H. PRABOWO
Profesionalisme Polri dipertanyakan terkait penanganan rusuh suporter di Stadion Kanjuruhan, Malang. Foto seorang penggemar sepak bola memasuki lapangan saat petugas polisi berjaga-jaga selama kerusuhan setelah pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, 01 Oktober 2022 (dikeluarkan pada 02 Oktober 2022). Sedikitnya 127 orang termasuk polisi tewas setelah suporter sepak bola Indonesia memasuki lapangan yang menyebabkan kepanikan dan injak-injak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN, Dradjad Wibowo menyebut, tragedi berdarah di Kanjuruhan lagi-lagi menampakkan lemahnya jajaran Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman.

Terlepas dari aturan FIFA, secara logika menembakkan gas air mata di dalam sebuah stadion itu berisiko membahayakan nyawa masyarakat. "Padahal sesuai UU 2/2002 Pasal 4, salah satu tujuan Polri adalah '… terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat'. Itu pesan UU-nya,” kata Dradjad, Senin (3/10/2022).

Terkait pernyataan Kapolda Jatim Nico Afinta yang menyatakan penembakan gas air mata itu sesuai prosedur yang berlaku, Dradjad mengatakan, masyarakat bisa melihat, prosedur itu berdampak jatuhnya korban meninggal dalam jumlah besar.

Jelas terlihat, prosedur itu membuat aparat Polri yang bertugas gagal melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat yang menjadi penonton pertandingan di Kanjuruhan. "Bahasa politiknya, prosedur itu membuat jajaran Polri gagal menegakkan UU 2/2002 di Kanjuruhan,” kata Dradjad yang juga pakar ekonomi dari INDEF.

Tragedi Kanjuruhan, kasus Sambo, dan berbagai kasus lainnya, menurut Dradjad, menunjukkan ada masalah besar dalam bidang profesionalisme jajaran Polri.

Dradjad mengatakan tanpa bermaksud masuk ke ranah kasus karena bukan pihak  yang menyaksikan dan atau menangani kasus Sambo, namun berbagai bentuk hiruk pikuk kasus ini tidak akan terjadi seandainya semua jajaran Polri yang terlibat dalam kasus tersebut maupun yang menanganinya, secara konsisten menegakkan profesionalisme.

"Saya pernah menjadi unsur pimpinan di BIN. Jadi sedikit paham tentang profesionalisme jajaran TNI dan Polri ini, baik dalam penanganan terorisme maupun berbagai bentuk ancaman keamanan nasional lainnya," ungkapnya.

Kapolri harus menjadikan tragedi Kanjuruhan dan kasus Sambo, sebagai titik awal untuk secepat mungkin melakukan profesionalisasi jajaran Polri. Ini dimulai dengan Polri secara kritis mengevaluasi diri sendiri.

"Mengapa beberapa kali terjadi kasus besar yang menunjukkan lemahnya profesionalisme sebagian jajaran Polri yang mengakibatkan fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan evaluasi tersebut, Kapolri sebaiknya secara signifikan merombak profesionalisme jajarannya," kata Dradjad.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement